Hadits Online

Kamis, 28 November 2013

Mujahid Asal Indonesia Syahid di Ghouta Timur Suriah


Mujahid Asal Indonesia Syahid di Ghouta Timur Suriah

Shoutussalam – Sebuah Broadcast BlackBerry Messenger (BBM) berisikan kabar bahwa salah satu Mujahid Suriah asal Indonesia telah gugur syahid, diterima redaksi Shoutussalam.com pada Senin malam (25/11/2013).

Bersumber dari akun Twitter Shoutul Jihad, @almohager000, dalam twitnya pada hari tersebut, memberikan daftar para syuhada’ dari Brigade Mujahidin Suqour al Izz dalam operasi penyerangan memutus rantai pengepungan tentara rezim di Ghouta Timur, Ahad (24/11/2013).

Tak disangka, yang cukup mengejutkan nama teratas dalam daftar syuhada’ itu tertulis Abu Muhammad al Indunisiy, dari namanya salah seorang syuhada tersebut adalah mujahid asal Indonesia.

Redaksi Shoutussalam lantas menelusuri kebenaran kabar tersebut melalui akun Twitter resmi Mujahidin Suqour al Izz. Dan benar saja, ternyata terdapat nama yang sama, yakni Abu Muhammad al Indunisiy.


Akun Twitter resmi Mujahidin Suqour al Izz mengumumkan nama-nama mujahid yang gugur syahid, di antaranya berasal Indonesia

Informasi yang beredar di jejaring sosial, pemuda tersebut adalah Alumnus sebuah Pondok di tanah Jawa. Setelah tamat dari pendidikan disana, ia melanjutkan studi di Timur Tengah.

Ketika bumi Syam, Suriah bergejolak, Abu Muhammad tak tinggal diam. Ia tinggalkan bangku kuliah lalu berhijrah ke negeri nubuwwah itu demi membela saudara sesama muslim Ahlus Sunnah yang dibantai orang-orang kafir Syiah Nushairiyah, Rezim Bashar Al-Assad.

Subhanallah, apa yang dicita-citakannya terwujud. Abu Muhammad yang dikenal oleh sesama mujahid di Suriah sebagai orang yang pendiam, murah senyum, rajin shalat malam, berpuasa sunnah dan gemar membaca itu, telah meraih syahadah.

Abu Muhammad gugur syahid –InsyaAllah- dalam aksi heroik in-ghimas, atau menceburkan diri dalam barisan musuh yang lebih populer dengan istilah Amaliyyah Istisyhadiyyah, yaitu operasi mencari syahid.
Dalam aksi pembebasan blokade Ghouta Timur tersebut, menurut aktivis setempat sebanyak 100 hingga 200 tentara Nushairiyyah dan Milisi Syiah Hezbollah tewas.


Asy Syahid -kama nahsabuhu- Abu Muhammad rahimahullah-

Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, tentara Rezim Suriah telah mengepung Ghouta Timur hingga 6 bulan lamanya. Memblokir semua akses bahan makanan dan obat-obatan untuk memasuki area tersebut. Banyak warga yang jatuh sakit dan meninggal, mereka bahkan terpaksa memakan daging kucing dan anjing hingga singa untuk bertahan hidup.

Sebuah akun twitter lain, @najde_mo7ed menjelaskan apa yang biasa disebut ayaturrahman fie jihad Suriah dalam pertempuran di wilayah pinggiran Damaskus tersebut.

والله لو علمتم ما يحصل لإخواننا في #الغوطة_الشرقية من كرامات وانتصارات لمسكتم رؤوسكم شهرا كاملا ! يا جماعة الملائكة تقاتل مع الموحدين هناك

Demi Allah, kalau sekiranya kalian semua mengetahui pertolongan dan karomah yang terjadi di Ghouta Timur terhadap para ikhwan kita disana, niscaya kalian akan memegang kepala kalian sebulan penuh lantaran takjub! Para malaikat ikut berperang bersama Muwahhidin disana,” tutupnya. [arkan/widad]

Selasa, 12 November 2013

Dialog Mujahidin dengan Opportunis


Dialog Mujahidin dengan Opportunis

Granada, kota terakhir yang dimiliki muslimin dikepung oleh Tentara Kristen. Jumlahnya cukup besar; 40.000 infanteri dan 10.000 kavaleri, ini masih ditambah jumlah bantuan yang terus berdatangan.
Masyarakat muslim ketika itu dipimpin oleh dua tokoh. Pertama adalah Amir Granada Ibnu Ahmar Abu Abdillah al-Shaghir dan Musa bin Abi Ghassan pemimpin jihad melawan Kristen. Dua nama yang sangat berbeda. Ibnu Ahmar al-Shaghir, persis seperti namanya. Dia al-Shaghir (kecil) otaknya, semangat jihadnya, imannya. Sementara Musa bin Abi Ghassan adalah mujahid agung yang memimpin jihad masyarakat muslim melawan kerajaan-kerajaan Kristen. Musa adalah simbol jihad, simbol aqidah kokoh tanpa mengenal kompromi.
Saat Granada sudah dikepung sedemikian rupa, dua tokoh ini berbeda pendapat. Sesungguhnya ini bukan sekadar perbedaan pendapat biasa. Tetapi sebenarnya, diam-diam Ibnu Ahmar al-Shaghir telah membuat kesepakatan dengan kerajaan Kristen Qostala untuk menyerahkan Granada dengan imbalan. Begitulah, pengkhianatan yang dilakukan di luar pengetahuan masyarakatnya itu memang tidak terlihat. Tetapi gejalanya sangat kentara. Sikap Ibnu Ahmar al-Shaghir terhadap keadaan masa itu merupakan terjemahan dari trik jahat yang dirahasiakannya.
Sementara iman yang terus membara di hati Musa, pasti secara otomatis menolak semua pengkhianatan tersebut. Musa dengan masyarakat mujahid siap membela setiap jengkal negeri muslim. Tidak ada kata menyerah pada keadaan. Tiada kata kompromi jika harus menjual agama. Musa bin Abi Ghassan benar-benar menjadi simbol jihad kala itu. Walau sayang nama mulia itu hampir tidak singgah di benak kita hari ini.
Ibnu Ahmar al-Shaghir benar-benar telah kalap. Dia sangat tergiur dengan cara penyelamatan diri yang mengorbankan agama Allah. Diserahkan kunci Granada kepada kerajaan Kristen, sementara dia tetap bertengger sebagai pemimpin dengan jaminan keamanan dan berikut pundi-pundi dunia lainnya. Rendah. Cara berpikir yang amat murah.
Keputusan orang nomor satu di dalam jamaah muslimin itu diamini oleh kerakusan para pejabat berikut ulama di sekitarnya. Bahkan penandatangan penyerahan Granada itu diwakili oleh menterinya yang bernama Abul Qasim Abdul Malik. Sementara penjabat lain juga sama menyetujuinya. Sesungguhnya yang sedang bicara adalah syahwat yang menggelegak yang telah membakar setiap selaput iman mereka.
Istana al-Hamra’ hari itu menjadi saksi. Saksi dialog antara mujahid dan oportunis alias pengkhianat umat. Musa bin Abi Ghassan datang dan langsung naik ke istana al-Hamra’. Dia menemui Ibnu Ahmar al-Shaghir dan para pejabat serta ulama di sekelilingnya yang sudah sangat nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Musa bicara. Di hadapan semua. Di hadapan para pejabat dan disaksikan oleh sebagian masyarakatnya. Dengan keberanian yang tidak menyisakan segumpal ketakutan. Hanya Allah yang layak ditakuti. Begitulah aqidah seringkali meminta bukti keberanian dari para ulama dan mujahid. Untuk membedakan antara mutiara dan lumpur.
Dan mari kita dengarkan langsung dialog antara mujahid Musa bin Abi Ghassan dan para oportunis Ibnu Ahmar al-Shaghir dan para pejabat berikut ulamanya.
Musa bin Abi Ghassan, “Jangan serahkan Granada, biarkan kami berjihad fi sabilillah, biarkan kami berperang fi sabilillah!”
Ibnu Ahmar & para pejabat, “Orang-orang Kristen menawarkan kepada kita perjanjian kesepakatan. Dengan perjanjian itu, kita bisa menjaga eksistensi muslimin. Agar tidak ada kejahatan dan keburukan yang menyentuh muslimin. Maka mari serahkan Andalus, agar kita bisa menjaga yang kita miliki sekarang ini dengan perjanjian dan kesepakatan.”
Musa bin Abi Ghassan, “Jangan sampai kalian bersandar kepada orang-orang Kristen itu. Jangan sampai kalian percaya kepada orang-orang Kristen itu.”
Musa pun melanjutkan, “Kalian jangan menipu diri sendiri. Jangan kalian menyangka kalau orang-orang Kristen itu akan memenuhi janji mereka. Jangan sampai kalian percaya pada raja mereka yang curang. Kematian hal kecil yang kita takutkan. Kita akan menghadapi penjarahan dan penghancuran kota-kota kita, pengotoran masjid-masjid kita, perobohan rumah-rumah kita, pemerkosaan istri-istri dan anak-anak kita. Kita juga akan mengalami kedzaliman yang keji, fanatisme liar, cambuk dan rantai-rantai. Di hadapan kita juga ada penjara dan pembakaran.”
Musa akhirnya menegaskan sikapnya, “Adapun saya demi Allah tidak akan pernah menyaksikan itu semua! Saya tidak pernah menerima kehinaan dan saya akan mati dengan cara mulia!!!”
Abu Abdillah al-Shaghir berdiri dari tempat duduknya kemudian berkata, “Allahu Akbar, lailaha illallah, Muhammadur rasulullah, tidak ada yang bisa menolak ketentuan Allah, usaha kita sia-sia begitu saja berhadapan kehendak ilahi. Demi Allah, saya ini telah ditakdirkan sebagai orang yang sengsara dan kerajaan ini akan hilang di tangan saya.”
Para menteri berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan oleh ulama jahat menguatkan, “Allahu Akbar, tidak ada cara yang bisa menghadapi ketentuan Allah.”
Melihat perbedaan prinsip yang sangat mendasar tersebut, Musa bin Abi Ghassan meninggalkan mereka berikut semua syahwat dan kerakusan mereka. Dia tinggalkan itu menuju keridhaan Allah dan kemenangan penuh izzah di hadapan Allah.
Musa keluar dari al-Hamra’. Ia langsung mengendarai kudanya, menghunuskan pedangnya. Menggerakkan muslimin yang masih siap berjihad. Menghadapi pasukan Kristen yang sudah berniat menguasai Granada. Ia terus berperang, hingga akhirnya Musa seorang diri harus berhadapan dengan 15 tentara Kristen. Musa berhasil membunuh sebagian besar tentara itu. Tapi akhirnya ia gugur sebagai syahid.
Rahimakallah ya mujahid…
Dialog Sepanjang Zaman
Dialog antara para dai mujahid dengan oportunis akan terjadi di sepanjang zaman. Sikap yang menunjukkan siapa kita sebenarnya. Sikap yang menentukan kita ada di barisan siapa. Penentuannya sering terbukti pada dua suasana: suasana genting atau justru sebaliknya; suasana banyak harta dan kesempatan.
Kisah penutupan Andalus adalah gabungan antara dua suasana. Suasana genting saat musuh mengancam dan saat dunia telah ditawarkan. Dan saat itulah muncul Musa sang mujahid dan Ibnu Ahmar al-Shaghir sang oportunis.
Tataplah lebih dalam kalimat-kalimat dialog di atas. Hingga kalimat dialog pun terulang sepanjang zaman. Setidaknya ada tiga alasa dan dalih para oportunis yang diambil dari pelajaran kisah di atas:
1.       Untuk menjaga eksistensi muslim dan dakwah
2.       Untuk mempertahankan yang kini telah kita miliki
3.       Ketidakberdayaan umat Islam berhadapan dengan musuh
Itu alasan. Sekali lagi dalih saja. Hanya cover. Sebenarnya adalah penandatanganan penyerahan umat dan dakwah dengan berbagai tawaran dunia. Walau umat tidak tahu. Walau umat tidak pernah melihat.
Tapi hanya tinggal waktu. Saat sebuah masa tiba, mengungkap semua hal yang dilakukan para pengkhianat itu. Seperti pengkhianat Ibnu Ahmar al-Shaghir dan semua antek-anteknya itu dibuka oleh zaman. Dokumen itu masih diabadikan oleh Kerajaan Kristen dan hari ini masih tersimpan rapi di Madrid Spanyol. Agar muslimin belajar. Agar sejarah pengkhianatan tak terulang lagi.

Dan selalu, para mujahid sejati memilih hidup mulia atau mati syahid. Para mujahid tidak akan pernah rela dengan hidup penuh kehinaan. Mereka akan meraih kemenangan penuh izzah.
Sepanjang zaman selalu hadir mujahid dengan kalimat yang mirip.
“Adapun saya demi Allah tidak akan pernah menyaksikan itu semua! Saya tidak pernah menerima kehinaan dan saya akan mati dengan cara mulia!!!” (Musa bin Abi Ghassan)
“Akhi, saya tidak pernah bosan dengan jihad ini. Aku tidak pernah meletakkan senjata. Jika aku mati, maka telah kuraih syahidku. Dan kamu akan melanjutkan raih kemenangan mulia.” (Sayyid Quthb).
فاعتبروا يا أولي الأبصار

Jumat, 08 November 2013

Syubhat Menasihati Penguasa Secara Sembunyi


Membantah Syubhat Menasihati Penguasa Secara Sembunyi

Oleh : Ustadz Farid Numan Hasan

Pada masa belakangan, khususnya era reformasi, arus kebebasan di negeri ini begitu terbuka bahkan melebihi batas yang tak terduga dan cenderung mengerikan. Termasuk dalam hal hubungan antara rakyat (people) dan Negara (State). Dahulu adalah hal yang tabu bahkan menakutkan jika ada yang memberikan kritik dan nasihat kepada penguasa, sedangkan saat ini sudah tidak demikian. Ada yang memanfaatkan momen kebebasan ini sesuai tuntunan syariah, ada pula yang kebablasan membabi buta. Sedangkan sikap yang benar adalah sikap pertengahan sebagaimana yang ditekankan oleh Islam.

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasathan (pertengahan) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al Baqarah (2): 143)

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

Sebaik-baiknya perbuatan (amal) adalah yang pertengahan. (HR. Al Baihaqi, Syuabul Iman, 8/411/3730. As Samani meriwayatkan dalam Dzail Tarikh Baghdad secara marfu dari Ali, tetapi dalam sanadnya terdapat periwayat yang majhul. Ad Dailami juga meriwayatkan tanpa sanad dari Ibnu Abbas secara marfu. Lihat Imam Ajluni, Kasyful Khafa, 1/391 dan Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 112. Imam As Suyuthi menyandarkan ucapan ini adalah ucapan Mutharrif bin Abdillah dan Abu Qilabah, yakni sebaik-baiknya urusan (Al Umur) adalah yang pertengahan. Lihat Ad Durul Mantsur, 6/333.)

Kita menyaksikan, ada manusia yang mengkritik dan menasihati penguasa secara terang-terangan dalam hal yang seharusnya disembunyikan, yakni kehidupan pribadi dan kesalahan yang sifatnya pribadi yang tidak membawa dampak buruk kecuali untuk diri penguasa itu sendiri. Sehingga terbukalah aibnya, tersingkaplah kejelekan pribadinya.

Kita juga menyaksikan, ada manusia yang banci dan sama sekali tidak melakukan apa-apa terhadap kekeliruan penguasa, walaupun kekeliruan itu membawa mudharat dan penderitaan bagi rakyatnya, dengan alasan menasihati penguasa harus diam-diam, tidak boleh terbuka. Bahkan mereka menuduh bahwa yang melakukan nasihat dengan terbuka adalah kaum khawarij. Akhirnya, fakta keadaan mereka pun sekedar teori belaka, mereka tidak melakukan apa-apa.

Kedua sikap ini tidaklah benar dan sama-sama berlebihan. Tidak memperhatikan masalah secara utuh dan menyeluruh. Hanya berpatokan pada sebagian dalil namun melupakan dalil lainnya.

Dua Jenis Kesalahan

Secara umum, manusia termasuk para pemimpin- akan melakukan dua jenis kesalahan, sebagai berikut:

1. Kesalahan Yang Membawa Dampak Bagi Pribadi Saja

Ini adalah aib pribadi yang tidak boleh disebarkan ke khalayak ramai. Setiap orang memiliki aib peribadi, baik perbuatannya atau berupa cacat tubuh. Semua ini sama sekali tidak merugikan orang lain selain dirinya. Maka, tidak dibenarkan menasihatinya secara terang-terangan, sebab sama saja hal itu menelanjangi kehormatan sesama muslim. Justru, jika mengetahui kesalahan yang sifatnya pribadi tersebut, kita dianjurkan untuk menutupinya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan menutupi kesalahannya di dunia dan akhirat. (HR. Ibnu Majah, No. 2545. Ahmad, No.16346 dari Maslamah bin Makhlad. Imam Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini adalah rijal hadits shahih. Majma Az Zawaid, 6/246)

2. Kesalahan Yang Membawa Dampak Pada Orang Banyak

Kesalahan jenis ini, baik dalam urusan dunia atau agama, maka dibolehkan dalam syariat untuk ditegur secara terang-terangan. Baik yang dilakukan oleh orang biasa atau pemimpin. Sebab, jika dinasihati secara diam-diam, padahal dia berbuat kekeliruan secara terangan-terangan dan membawa dampak secara massal, maka dikhawatiri tobatnya itu tidak diketahui dan diikuti orang lain yang mengalami dampak dari kekeliruannya. Menasihatinya secara terang-terangan bukan termasuk kategori ghibah yang diharamkan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah dalam kitab Riyadh Ash Shalihin.

Keterangan Imam An Nawawi tentang ghibah yang ditoleransi, akan saya ringkas sebagai berikut:

1. Mengadukan kepada hakim, tentang kejahatan orang yang menganiaya.

2. Minta tolong supaya menasehati orang yang berbuat mungkar kepada orang yang dianggap sanggup menasehatinya.

3. Karena minta fatwa: fulan menganiaya saya, bagaimana cara menghindarinya?

4. Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.

5. Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.

6. Untuk memperkenalkan orang dengan gelar yang disandangnya, seperti Al Amasy (buram matanya), Al Araj (Si Pincang), Al Ama (Si Buta), Al Asham (Si Tuli), Al Ahwal (si Juling), semua ini adalah gelar yang pernah disandang oleh sebagian ulama hadits. (Imam An Nawawi, Riyadhush Shalihin, Hal. 366-367. Maktabatul Iman. Al Manshurah)

Pemimpin juga Mesti Dinasihati

Tidak ada yang tidak membutuhkan nasihat, tidak terkecuali bagi para pemimpin. Dari Tamim Ad Dari Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

Agama adalah nasihat. Kami berkata: Untuk siapa? Beliau bersabda: Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, Imam kaum muslimin, dan orang-orang kebanyakan. (HR. Muslim, No. 55. Abu Daud, No. 4944)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari makna nasihat untuk imam kaum muslimin:

وَأَمَّا النَّصِيحَة لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى الْحَقّ ، وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ ، وَتَنْبِيههمْ وَتَذْكِيرهمْ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق الْمُسْلِمِينَ ، وَتَرْك الْخُرُوج عَلَيْهِمْ ، وَتَأَلُّف قُلُوب النَّاس لِطَاعَتِهِمْ

Ada pun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin, adalah dengan menolong dan mentaati mereka di atas kebenaran, memerintahkan mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut, memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan hati manusia dengan mentaati mereka. (Syarh Shahih Muslim, 1/144/82. Mauqi Ruh Al Islam)

Bahkan menasihati pemimpin yang zalim termasuk jihad yang paling afdhal. Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

Dari Abu Said Al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim. (HR. Abu Daud, Kitab Al Malahim Bab Al Amru wan Nahyu, No. 4344. At Tirmidzi, Kitab al Fitan an Rasulillah Bab Maa Jaaa Afdhalul Jihad , No. 2265. Katanya: hadits ini hasan gharib. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Al Amru bil Maruf wan nahyu anil Munkar, No. 4011. Ahmad, No hadits. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq- perkataan yang benar. Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Misykah Al Mashabih, No. 3705)

Bahkan jika seseorang mati karena dibunuh penguasa zalim disebabkan amar maruf nahi munkar, dia termasuk pemimpin para syuhada. Dari Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh. (HR. Al Hakim, Al Mustdarak Ala ash Shaihain, Juz. 11, hal. 214, No hadits. 4872. Ia nyatakan shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, No. 374)

Menasihati Pemimpin Secara Diam-Diam

Menasihati pemimpin secara diam-diam, memang dianjurkan oleh syariat. Namun, hal itu tidaklah menunjukkan larangan dengan cara terangan-terangan. Hal ini hanyalah masalah pilihan uslub (metode). Kedua cara ini pada kondisi dan jenis kesalahan tertentu, memiliki efektifitas dan keunggulannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibenarkan saling meremehkan satu cara dibanding cara yang lain. Tidak seperti prasangkaan sebagian manusia, bahwa hadits tentang anjuran menasihati pemimpin secara diam-diam, merupakan petunjuk satu-satunya cara nasihat kepada pemimpin, dan haram cara lainnya. Prasangkaan ini tidak benar, dan bertentangan dengan Al Quran serta contoh para nabi, salafush shalih, dan para ulama rabbani.

Dari Iyadh bin Ghanm Radhiallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

Barangsiapa yang hendak menasihati pemimpin terhadap suatu urusan, maka janganlah menampakkannya terang-terangan, tetapi hendaknya dia meraih tangannya lalu dia menasihatinya berduaan. Jika dia menerima nasihatnya, maka bagimu akan mendapat ganjaran, jika dia tidak menerima, maka dia telah menunaikan apa-apa yang layak bagi sultan tersebut. (HR. Ahmad, No. 14792. Lihat juga Al Musnad Al Jami, 34/35)

Hadits ini sering dijadikan alasan oleh sebagian kaum muslimin agar jangan menasihati pemimpin secara terang-terangan bahkan mereka mengharamkan demonstrasi dengan alasan hadits ini pula. Anjuran dalam hadits ini adalah agar kita menasihati pemimpin secara face to face atau empat mata. Anjuran yang ada dalam hadits ini, tidaklah sama sekali menunjukkan pembatasan bahwa inilah satu-satunya cara, melainkan hadits ini berbicara tentang salah satu bentuk cara nasihat terhadap pemimpin. Tak ada korelasi apa pun dalam hadits ini yang menunjukkan bahwa terlarangnya menasihati pemimpin secara terbuka. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul, sebagian sahabat, tabiin, dan para imam kaum muslimin, pernah menasihati pemimpin secara terang-terangan sebagaimana yang akan kami paparkan nanti.

Menasihati, Menegur, dan Mengkritik Pemimpin Secara Terang-Terangan

Berikut ini adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh manusia mulia. Baik yang melakukannya di istana penguasa atau di tempat selain istana. Sekaligus paparan di bawah ini sebagai koreksi bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan menegur kesalahan penguasa secara terang-terangan.

Zaman Para Nabi Alaihim Shalatu was Salam

Metode ini pun pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Di antaranya adalah nasihat terbuka yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam, bahkan bukan hanya nasihat, beliau melakukan aksi nyata dengan menghancurkan berhala-berhala saat itu. Bahkan beliau berdialog dengan Namrudz dari Babilonia yang disaksikan oleh para pembesar dan pengawalnya. Sebagaimana yang Allah Taala ceritakan dalam Al Quran:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan, orang itu berkata: Saya dapat menghidupkan dan mematikan.Ibrahim berkata: Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat, lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah (2): 258)

Tentang ayat ini, Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang diktator di muka bumi adalah Namrudz. Manusia keluar rumah serta menjejerkan makanan di depan Namrudz. Begitu pula Ibrahim pun ikut melakukannya bersama manusia. Masing-masing mereka dilewati oleh Namrudz dan dia bertanya; Siapakah Tuhanmu? Mereka menjawab: Engkaulah! hingga giliran Ibrahim, Namrudz bertanya: Siapakah Tuhanmu? Ibrahim menjawab: Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan. Namrudz menjawab: Aku bisa menghidupkan dan mematikan. Ibrahim berkata: Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari di Timur dan menenggelamkannya di Barat. Maka bungkamlah orang kafir itu. (Imam Abu Jafar bin Jarir Ath Thabari, Jami Al Bayan fi Tawilil Quran, 5/433. Muasasah Ar Risalah, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)

Ayat ini, dengan gamblang menjelaskan Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat raja Namrudz secara terang-terangan di depan banyak manusia. Bukti lain bahwa Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat secara terang-terangan di depan kaumnya adalah isyarat yang Allah Taala sebutkan dalam ayatNya:

Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.(QS. Al Anam 96): 83)

Juga yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun Alaihimassalam, mereka berdua menasehati Firaun di depan para pembesar istananya. Bahkan Nabi Musa mempermalukan Firaun di depan pasukannya sendiri di istana dengan mengalahkan para ahli sihirnya dengan mukjizat yang Allah Taala berikan kepadanya. Bahkan akhirnya ahli sihir Firaun bertobat dan beriman kepada Allah Taala. Semua ini terekam di dalam Al Quran, surat Thaha ayat 43-76.

Para Sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

Metode ini pun juga ada pada masa sahabat. Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: Wahai Amirul muminin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham? Umar menjawab: Benar. Wanita itu berkata: Apakah kau tidak mendengar firman Allah:

. sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?. (QS. An Nisa (4): 20)

Umar menjawab; Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar. Maka umar pun meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)

Inilah Umar bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak mengatakan: Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah, seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan! Tidak. Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut. Jikalau wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini disebabkan karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka meralatnya pun dilakukan secara terbuka.

Metode ini juga dijalankan oleh para tabiin serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menashati khalifah, atau gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.

Berikut ini adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin.

Said bin Jubeir Radhiallahu Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi

Tentang kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:

عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي

Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin. Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali. (Imam Muhammad bin Saad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)

Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu Anhuma, yakni Al Imam Said bin Jubeir Rahimallahu Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling alim saat itu. Dia tidak mengatakan: Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata! Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya khawarij.

Tentang Imam Said bin Jubeir, berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:

كان أعلمهم بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام طاووس، وأعلمهم بالطلاق سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه العلوم سعيد بن جبير

Yang paling tahu tentang Al Quran adalah Mujahid, yang paling tahu tentang Haji adalah Atha, yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Thawus, yang paling tahu tentang thalaq adalah Said bin Al Musayyib, dan yang mampu mengkombinasikan semua ilmu-ilmu ini adalah Said bin Jubeir. (Imam Adz Dzahabi, Siyar Alam An Nubala, 4/341. Muasasah Ar Risalah, Beirut)

Sementara Ali Al Madini berkata:

ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير. قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس ولا أحد.

Di antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak ada yang seperti Said bin Jubeir. Ada yang berkata: Tidak pula Thawus? Ali Al Madini menjawab: Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya. (Ibid)

Imam Amr Asy Syabi Radhiallahu Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi

Beliau sezaman dengan Said bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.

Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Syabi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Syabi berkata:

فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل

Maka, para Qurra dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra. Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya. Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya. (Ibid, 4/304)

Demikianlah Imam Amr Asy Syabi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan: Aku akan temui Al Hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi. Tidak demikian.

Siapakah Imam Amr Asy Syabi? Dia adalah Imam Fiqih dan hadits pada masa tabiin. Banyak sanjungan manusia kepadanya. Berkata Abu Usamah:

كان عمر في زمانه رأس الناس وهو جامع، وكان بعده ابن عباس في زمانه، وكان بعده الشعبي في زمانه، وكان بعده الثوري في زمانه، ثم كان بعده يحيى بن آدم

Umar bin Al Khathab adalah pemimpin manusia pada zamannya, selanjutnya Ibnu Abbas adalah pemimpin manusia pada zamannya, lalu Asy Syabi pada zamannya, kemudian Sufyan Ats Tsauri pada masanya, lalu Yahya bin Adam pada masanya. (Ibid, 4/302)

Daud bin Abi Hindi berkata:

ما جالست أحدا أعلم من الشعبي.

Belum pernah aku bermajelis dengan seorang pun yang lebih berilmu dibanding Asy Syabi. (Ibid)

Abu Ashim bin Sulaiman berkata:

ما رأيت أحدا أعلم بحديث أهل الكوفة والبصرة والحجاز والآفاق من الشعبي

Tidaklah aku melihat seorang pun yang lebih tahu tentang hadits di Kufah, Bashrah, Hijaz dan berbagai penjuru, dibandingkan Asy Syabi. (Ibid)

Dan masih banyak sanjungan lainnya.

Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu Anhu terhadap Ibnu Hubairah

Beliau dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bidah dan penguasa yang zalim. Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa zamannya yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.

Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nuaim Al Ashbahani:

جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.

Jafar bin Marzuq berkata, Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Syabi, dia berkata: Masuklah kalian. Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku? Ibnu Sirin menjawab: Aku melihat kezaliman yang merata. Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukkan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu Hubairah): Bukan kamu yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya. Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy Syabi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia mengambil hadiah itu. (Hilyatul Auliya, 1/330. Mauqi Al Warraq)

Imam Adz Dzahabi mengatakan:

قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين

Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin. (Siyar Alam An Nubala, 4/615)

Inilah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu Anhu, dia menegur kezaliman yang ada dalam istana, di depan banyak orang dan ulama. Mereka seperti Al Hasan dan Asy Syabi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: Aku ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata! Tidak demikian.

Lagi pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas terhadap penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?

Siapakah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu Anhu? Pada masanya dia dikenal orang yang sangat wara, ahli fiqih, ahli tafsir mimpi, dan periang.

Berikut ini parade pujian para ulama untuk Imam Ibnu Sirin Radhiallahu Anhu. Sebagaimana yang dicatat oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab As Siyar-nya:

قال ابن عون: كان محمد يأتي بالحديث على حروفه، وكان الحسن صاحب معنى.

عون بن عمارة: حدثنا هشام، حدثني أصدق من أدركت، محمد بن سيرين.

قال حبيب بن الشهيد: كنت عند عمرو بن دينار فقال: والله ما رأيت مثل طاووس، فقال أيوب السختياني وكان جالسا: والله لو رأى محمد بن سيرين لم يقله.

معاذ بن معاذ: سمعت ابن عون يقول: ما رأيت مثل محمد بن سيرين.

وعن خليف بن عقبة، قال: كان ابن سيرين نسيج وحده.

وقال حماد بن زيد، عن عثمان البتي، قال: لم يكن بالبصرة أحد أعلم بالقضاء من ابن سيرين .

وعن شعيب بن الحبحاب، قال: كان الشعبي يقول لنا: عليكم بذلك الاصم يعني ابن سيرين .

وقال ابن يونس: كان ابن سيرين أفطن من الحسن في أشياء

Berkata Ibnu Aun: Muhammad bin Sirin meriwayatkan hadits dengan huruf-hurufnya, sementara Al Hasan yang mengetahui maknanya.

Aun bin Imarah, bercerita kepada kami Hisyam, telah bercerita kepadaku bahwa orang yang paling jujur yang pernah aku temui adalah Muhammad bin Sirin.

Habib bin Asy Syahid berkata: Aku bersama Amr bin Dinar, dia berkata: Demi Allah aku tidak pernah melihat orang seperti Thawus. Maka, Ayyub As Sukhtiyani sambil duduk menimpali: Demi Allah, seandainya dia melihat Muhammad bin Sirin, tidak akan dia berkata seperti itu.

Muadz bin Muadz berkata, aku mendengar Ibnu Aun berkata: Aku belum pernah melihat orang semisal Muhammad bin Sirin.

Dari Khalifah bin Uqbah, dia berkata: Adalah Ibnu Sirin dia menenun (pakaiannya) sendiri.

Dari Hammad bin Zaid, dari Utsman Al Bati: Tidak pernah ada di Bashrah orang yang paling tahu tentang kehakiman (hukum) dibanding Ibnu Sirin.

Ibnu Yunus berkata: Ibnu Sirin lebih cerdas dibanding Al Hasan Al Bashri di banyak hal. (Siyar Alam An Nubala, 4/608)

Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi

Siapa yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah. Berikut ini ceritanya, sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nuaim Al Ashbahani.

Dari Ubaid bin Junad, katanya:

عطاء بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة.

Atha bin Muslim berkata: Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah. Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: Izinkan aku berbicara wahai amirul muminin. Berkata Ubaid: Aku berkata kepada Atha bin Muslim: Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: Wahai Amirul muminin? Atha menjawab: Ya.

Sufyan berkata: Apakah aku akan aman jika aku bicara? Al Mahdi menjawab: :Ya. Sufyan berkata: Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu. Atha berkata: Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya: Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Muminin? Al Mahdi menjawab: Tentu. Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan mengelilinginya dan bertanya: Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah? Sufyan menjawab: Remehkanlah akal mereka. Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah. (Hilyatul Auliya, 3/166. Mauqi Al Warraq)

Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya. Dia tidak mengatakan: Biarkanlah dia, aku akan menasihatinya secara empa mata. Tidak. Dia langsung menegurnya, walau di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah Imam Ahlus Sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Selain seorang ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum muslimin. Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka.

Berkata Al Alusi tentang Imam Ibnu Taimiyah:

Adapun keberanian dan jihadnya, maka suatu penjelasan apa pun tidak dapat mencakupnya secara sempurna. Ia sebagaimana yang diceritakan Al Hafizh Sirajuddin Abu Hafsh dalam Manaqib-nya adalah orang yang paling berani dan tegar hati menghadapi musuh. Aku belum pernah melihat manusia yang keberaniannya melebihi Ibnu Taimiyah dan semangat jihad melawan musuh melebihi semangatnya Ibnu Taimiyah. Ia selalu berjihad di jalan Allah dengan hati, lisan, dan tangannya dan tidak takut hinaan orang yang suka menghina dalam membela agama Allah Taala.

Banyak orang menceritakan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah juga sering ikut bersama pasukan Islam dalam peperangan melawan musuh. Apabila ia melihat pasukan yang gelisah dan takut, maka ia memberikan semangat kepadanya, memantapkan hatinya, menjanjikan kemenangan dan ghanimah kepadanya, dan menjelaskan keutamaan jihad dan mujahidin. (Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 796. Pustaka Al Kautsar)

Syaikh Ahmad Farid juga menceritakan keberanian Imam Ibnu Taimiyah di medan tempur:

Seorang panglima perang mencertakan tentang perang Syaqhab. Ia mengatakan, Syaikh Ibnu Taimiyah berkata kepadaku ketika dua pasukan sudah terlihat,Wahai kamu, perlakukanlah aku seolah aku sudah mati. Lalu aku membawanya (Ibnu Taimiyah) ke depan, sementara musuh-musuh sudah turun bak banjir yang mengalir dengan deras. Peralatan perang mereka terlihat di sela-sela debu yang berterbangan.

Lalu, aku berkata kepadanya: Ini akan mengantarkanmu pada kematian. Batalkan keinginanmu itu! Ia menengadahkan mukanya ke langit, meluruskan pandangannya, dan menggerakkan kedua bibirnya dalam waktu yang lama kemudian bangkit dan maju ke medan perang. Aku tidak melihatnya lagi sampai Allah memberikan kemenangan pada umat Islam yang berhasil masuk ke kota Damaskus. (Ibid, Hal. 798-799)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali juga meceritakan tentang Imam Ibnu Taimiyah:

قدم إلى الشام هو وإخوته سنة اثنتي عشرة بنية الجهاد، لما قدم السلطان لكشف التتر عن الشام. فخرج مع الجيش، وفارقهم من عسقلان، وزار البيت المقدس.

Beliau bersama saudaranya, dua belas tahun, datang ke Syam dengan niat berjihad, ketika datangnya sultan untuk mengusir Tartar dari Syam. Ibnu Taimiyah keluar bersama pasukan, dan berpisah dengan mereka dari Asqalan, dan berziarah ke Baitul Maqdis. (Imam Ibnu Rajab, Dzail Thabaqat Al Hanabilah, 1/343. Mauqi Al Warraq)

Beliau juga sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim. Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang berani dan secara terbuka kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid berkata:

Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untuk menyerang kaum musimin Damaskus.

(Demikianlah rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:

Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.

(Inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya menuju istana Sultan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Imam Ibnu Taimiyah tidak mengatakan: Aku akan nasihati Sultan Ghazan secara empat mata. Justru ia melakukannya bersama umat Islam secara terang-terangan. Apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh Imam Ibnu Taimiyah, jika saat ini dia melihat ada sebuah negara muslim yang meminta pertolongan Amerika Serikat untuk menyerang kaum muslimin Iraq? Atau mengizinkan tentara kafir membuka pangkalan militer di negeri muslim agar mereka mudah mengendalikan negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan dan Raja Al Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin kolonialisme modern, AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam Ibnu Taimiyah!)

Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid mengatakan:

Tatkala Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.

Kesempatan tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan kepada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah mslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terhaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka. (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)

Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah

Beliau dijuluki Shulthanul Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya. Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya dan di hadapan banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.

Kami akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:

Syaikh Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: Syaikh kami, Izzuddin pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari Id di Qalah (benteng Shalahuddin).

Di sana ia menyaksikan para prajurit yang berbaris di depan Sultan Najmuddin dan dewan kerajaan saat itu. Suasana kerajaan saat itu sangat megah. Sultan Najmuddin keluar kepada mereka dengan memakai perhiasan sebagaimana adat para Sultan di Mesir. Para pejabat saat itu pun sujud mencium tanah di depan sang Sultan.

Melihat peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin dan berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan Allah ketika Dia berkata kepadamu,Aku telah berikan kerajaan Mesir kepadamu lalu kamu memperbolehkan khamr! Sultan Najmuddin Ayyub berkata, Apakah ini terjadi? Syaikh Izzuddin menjawab, Ya, di toko seorang perempuan telah dijual minuman khamr dan hal-hal lain yang munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan kerajaan ini.

Syaikh Izzuddin memanggilnya (sultan) dengan suara sangat keras, sementara itu para prajuritnya membisu dan keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai Tuanku, itu bukan perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku. Syaikh Izzuddin berkata: Kamu termasuk golongan orang yang mengatakan:

Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,.. (QS. Az Zukhruf (43): 22)

Lalu Sultan Ayyub merencanakan memusnahkan toko tersebut. (Ibid, 747-748)

Inilah Imam Al Izz bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik sultan di depan banyak manusia, dan hal itu efektif sebagai presure (tekanan) agar sultan mau menerima nasihatnya.

Bahkan, lebih berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa para sultan saat itu masih terjerat hukum perbudakan sehingga para sultan adalah milik baitul mal kaum muslimin. Para sultan ini boleh dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hingga wakil sultan marah dan berkata: Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan ingin menjual kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan penggal kepalanya!

Namun yang terjadi ketika wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam, justru pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam Izzuudin. Wakil sultan berkata: Wahai Tuanku, apa yang kau inginkan? Syaikh Izzuddin menjawab: Aku memanggil dan menjual kalian. Wakil sultan bertanya: Untuk apa kau menjual kami? Syaikh Izzuddin menjawab: Demi kemaslahatan umat Islam. Wakil sultan bertanya lagi: Siapa yang menerimanya? Syaikh Izzuddin menjawab: Akulah yang menerimanya. Lalu para pejabat pemerintah dipanggil satu persatu dan dijual dengan harga mahal. Hasil penjualan mereka digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. (Ibid, Hal. 749-750)

Ada peristiwa yang mirip dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki menceritakan tentang penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail, panggilannya Abu Al Khaisy. Dia berkolaborasi dengan pasukan Eropa untuk menyerahkan kota Shida dan benteng Asy Syaqif kepada Eropa. Tindakan ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia tidak mendoakannya dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau ditemani oleh Abu Amr bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah membuat sultan marah. (Ibid, Hal. 750)

Inilah Al Imam Al Izz bin Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah bermadzhab syafii. Imam Ad Dzahabi menyebutnya sebagai seorang yang sudah taraf mujtahid, dan Imam As Suyuhi juga menyebutkan di akhir hayatnya dia tidak lagi terikat madzhab, sudah berfatwa dengan fatwanya sendiri.

Demikianlah. Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, bukanlah hal yang tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini adalah perbuatan mulia yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam.

Menasihati pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat dari sisi benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya yang lebih tepat guna dan efektif dalam merubah penyimpangan penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian dan analisa. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari rakyatnya, ada juga yang sudah bisa berubah walau di asihati oleh orang terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan kejelian sangat diperlukan dalam memutuskan masalah ini.

Dan, yang jelas tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa menasihati pemimpin secara terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang amat jauh. Tidak pantas menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang satu berdosa, dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pula hal itu disamakan dengan keluarnya kaum khawarij terhadap pemerintahan Ali. Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau pemimpin yang zalim, bukan pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu.

Wallahu Alam wa Waliyyut Taufiq.

Sumber: http://nii-news-document.blogspot.com/2012/04/membantah-syubhat-salafy-memangnya.html