Nasihat Syekh Al Maqdisy dalam Menyikapi Peristiwa Mesir
Huru hara yang terjadi di Mesir belakangan ini membuat prihatin dan menambah deret panjang kezaliman yang menimpa kaum muslimin. Namun dalam menyikapinya, kaum muslimin ternyata berbeda-beda. Ada yang prihatin dan mengutuk para thogut pelaku kudeta, ada yang memberi dukungan moral tapi anehnya ada pula yang bergembira dan menyalahkan saudaranya seagama yang kini tengah ditindas. Yang menakjubkan, ada yang justru menyokong kezaliman para thogut dengan fatwa dan dana, karena menurut mereka para pendukung ikhwanul muslimin memang pantas menerimanya karena mereka para kilabun nar. Anjing-anjing neraka! Tapi, subhanalloh sikap yang berbeda ditunjukkan sebagian ulama kibar di kalangan mujahidin, yang oleh sebagian kalangan dituding khowarij dan gampang memvonis kafir kaum muslimin. Syekh Sulaiman Nashir Al Ulwan, misalnya, memberi nasihat agar pengikut ikhwanul muslimin untuk bersabar dan membesarkan hati mereka untuk terus berjuang.
Belum lama, Syekh Abu Muhammad Al Maqdisy, seorang ulama yang disegani kalangan salafy jihadi juga memberi nasihat kepada para pengeritik pengikut ikhwanul muslimin. Menurut beliau tidaklah tepat mencela kelompok Islam lain karena perbedaan, apalagi saudaranya tersebut tengah ditimpa musibah dan penindasan. Padahal kita mafhum, beliau bersebrangan dengan ikhwanul muslimin dalam manhaj.
***
Adil adalah Sifat Orang-orang Mulia dan Orang-orang Mulia Golongan yang Paling Sedikit
Saya sangat prihatin mengapa sebagian saudara kita tidak memahami sikap adil dan itu sering hilang dari mereka. Padahal, banyak dalil dari Al-Qur’an dan Sunah yang menyeru kepada keadilan dan sikap pertengahan. Hal ini tampak pada pernyataan, tulisan, dan pidato mereka yang berisi tikaman, pencemaran, dan penghinaan terhadap Ikhwanul Muslimin.
Dan itu dilakukan saat Ikhwan dalam penderitaan, ujian, dan kekuasaan rezim kafir dan tentara thaghut Mesir. Mereka dibunuh, diusir, dipenjara, dan disiksa. rentan terhadap istri, anak-anak perempuan, dan saudara-saudara mereka yang sejatinya saudara kita juga.
Derita mereka adalah derita kita. Luka mereka adalah luka kita juga.
Mereka ditindas oleh anjing-anjing thaghut dan media-media penjilat penguasa. Mereka sejatinya tidak berbeda dengan kaum nabi Luth. Mereka hendak menerapkan strategi media sodomi dan keji yang dibalut dengan dusta dan pura-pura. Di koran-koran mereka menutupi permusuhan dengan menyebut bahwa mereka adalah orang-orang suci.
Demi Allah, yang membuat saya lebih prihatin adalah waktu mengkritik yang tidak tepat, sehingga membuat saudara-saudara kita ini tanpa sadar tampak seperti orang-orang yang antre ke barisan orang-orang zalim, thaghut, dan murtad.
Saya lebih menyayangkan lagi, pernyataan yang ditujukan kepada Ikhwan bahwa mereka lebih buruk daripada orang-orang sekuler dan murtad, yang melakukan kudeta. Saya sendiri menyatakan bahwa para pengudeta itu bagian dari thaghut. Itulah kenyataannya.
Padahal, semestinya mereka tidak hanya menahan lisan dalam keadaan yang sulit ini, dan tidak berpartisipasi menyerang belaka, tanpa solusi. Mereka mestinya berkata dengan benar, adil, dan membantu semampunya sesuai hak pertolongan dan loyalitas bagi mereka.
Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.” (An-Nisa’: 135).
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 8)
Allah juga menyeru kepada kita di dalam Kitab-Nya dan mengajarkan agar kita bersikap adil meskipun kepada orang kafir. Dalam hal ini, kelompok dan jamaah yang berafiliasi kepada Islam lebih utama mendapatkan sikap itu. Meskipun kita berbeda dengan mereka atau sebaliknya dalam beberapa perkara.
Allah membedakan sikap adil di antara ahli kitab dalam firman-Nya, “Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya.” (Ali Imran: 75).
Perhatikanlah bagaimana Allah merinci dan tidak menisbatkan keburukan kepada mereka semua. Padahal, di kalangan mereka ada yang lebih buruk lagi.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka.” (Al-Ankabut: 46).
Di ayat ini Allah membedakan orang yang zalim dan yang tidak zalim.
Allah menjelaskan kepada kita bahwa di antara mereka ada yang harus dibantah dengan kata-kata yang lebih baik, dan ada yang dibantah dengan kata-kata yang lebih kuat. Celaan didahulukan atau ditunda sesuai yang berhak mendapatkannya. Ini adalah keadilan yang agung dan nyata.
Di surat Al-Mumtahanah, orang-orang yang memerangi kita karena agama, mengusir kita dari negeri kita, serta membantu pihak yang memerangi umat Islam, Allah membedakan mereka dengan orang-orang kafir yang tidak melakukan tiga hal itu. Itulah sebabnya, Rasulullah saw membedakan perlakuan dan sikap terhadap orang yang memerangi Allah, Rasul-Nya dan menyakiti orang-orang beriman, seperti Ubah bin Abi Mu’ith. Sikap beliau tidak sama terhadap orang-orang kafir yang bersikap baik, menolong beliau, dan berupaya membatalkan nota boikot yang dipaksakan oleh Quraisy. Contohnya ialah sikap beliau terhadap Muth’im bin Adi dan Abul Bakhtari. Bahkan, Rasulullah saw bersabda kepada para tawanan perang Badar, “Seandainya Muth’im bin Adi masih hidup, kemudian meminta kepada saya agar mereka dibebaskan, aku sungguh akan membebaskan mereka karena dia.”
Itu merupakan sikap bijak dan adil yang sangat agung terhadap orang musyrik pagani. Muth’im beberapa kali menolong beliau maka beliau membalasnya dengan sikap tersebut, meskipun Muth’im teah mati.
Itulah keadilan ucapan beliau. Itulah sikap bijak yang merupakan hiasan kemuliaan. Maka lebih utama bila ucapan ditujukan kepada umat Islam yang memiliki hak kasih sayang, harusnya tidak keluar dari keadilan.. selama mereka berada di wilayah keislaman.
Karena itulah Allah mengajarkan kepada kita cara bersikap yang tepat. Allah menuntut kita bersikap tegas terhadap kesyirikan dan pelakunya, di firman-Nya, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)
Tetapi terhadap orang-orang beriman, Allah mengajarkan kepada kita, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Asy-Syuara: 215-216).
Perhatikanlah perbedaan antara perlepasan diri secara penuh dari orang-orang musyrik dan perlepasan parsial dari orang-orang beriman. Pada sikap yang kedua ini perlepasan diri hanya berlaku dalam kemaksiatan mereka saja, bukan dari mereka secara keseluruhan.
Kriteria tersebut merupakan keadilan, keseimbangan dan kebijakan. Karena itulah, bila salah seorang sahabat melakukan maksiat, beliau tidak memberikan hukuman melebihi batas yang ditetapkan oleh Alah. Dan beliau mengakui hak yang dimiliki oleh pelaku maksiat itu. Maksiat mereka tidak menyebabkan beliau mengabaikan hak mereka, meskipun maksiatnya termasuk dosa besar. Beliau tidak mengeluarkan mreka dari wilayah loyalitas keimanan. Beliau pernahmerajam wanita Ghamidiyah karena zina dan Khalid bin Walid melemparkan batu di kepalanya. Darah wanita itu memercik ke kepala Khalid. Maka Khalid mencacinya. Rasulullah pun bersabda, “Sabar wahai Khalid! Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, ia telah bertobat dengan tobat yang apabila dilakukan oleh pemungut pajak, tentu akan diampuni dosanya.” Kemudian beliau memerintahkan agar wanita itu dishalatkan dan dikuburkan. HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud.
Di riwayat Muslim lainnya, Umar mengatakan kepada Nabi saw, “Apakah ia boleh dishalatkan?” Maka beliau menjawab, “Ia telah bertobat dengan pertobatan yang bila dibagi untuk penduduk Madinah ini pun mencukupi.”
Di riwayat lain disebutkan, “Apakah engkau mendapatkan yang lebih utama daripada yang didapatkan jiwanya untuk Allah?”
Allah akbar! Betapa adil dan sempurna! Kesalahannya adalah satu hal, sedangkan haknya untuk mendapatkan keadilan adalah hal lain yang tidak boleh dilupakan hanya karena kesalahannya. Inilah keadilan yang diperintahkan oleh Allah kepada kita di Kitab-Nya. “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, hendaklah kamu berlaku adil, kendati ia adalah kerabat(mu).” (Al-An’am: 152).
Apakah ucapan yang pantas bagi Ikhwan di Mesir yang sedang berduka adalah Ikhwan lebih buruk daripada orang-orang sekuler dan murtad? Apakah ini ucapan yang adil dan bijak? Apakah orang yang mengucapkan kata-kata itu—bila tidak bertakwa kepada Allah dan menguatkan ucapannya dengan ungkapan yang baik—mampu berlaku dan bersikap adil kepada manusia? Apakah mereka bisa menjadi hakim yang adil seandainya mereka memegang kekuasaan? Padahal di tengah-tengah masyarakat itu ada orang awam, pelaku maksiat, orang yang bersalah, menyelisihi hukum, orang fasik dan bahkan yang lebih buruk daripada Ikhwan.
Siapa yang mengamati ulah orang-orang sekuler Mesir terhadap Ikhwanul Muslimin—baik laki-laki maupun perempuan mereka; tua maupun muda—dan melihat permusuhan mereka terhadap Islam, bahkan terhadap nama Islam, permusuhan mereka terhadap syariat, bahkan terhadap konsepnya, ia pasti menyadari bahwa upan itu tidak pantas. Itu ucapan yang zalim. Orang yang mengucapkannya tidak memperhatikan kehormatan dan hak kaum muslimin. Mereka tidak memperhatikan musibah dan dukacita yang sedang dialami Ikhwan. Mereka menyamakan orang yang memerangi agama Alah dan tidak memiliki belas kasihan terhadap orang beriman dengan orang Islam yang taat atau bermaksiat. Ini bukan keadilan dan keseimbangan yang bisa menegakkan langit dan bumi.
Hendaknya dunia mengetahui bahwa kami tidak mengafirkan Ikhwanul Muslimin. Bagi kami mereka adalah umat Islam, meskipun mereka menyelisihi kai dalam banyak hal, sebagian dalam urusan manhaj dan usul. Pengikut, pendukung, dan penolong mereka memiliki ribuan tingkat pemahaman agama. Ada yang alim ada pula yang bodoh. Ada yang taat ada pula yang bermaksiat. Ada yang terpelajar dan ada yang awam. Sebagian juga ada yang diwarnai dengan beberapa hal yang membatalkan Islam, seperti berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, atau bersekutu dalam pembuatan undang-undang positif, atau bersumpah untuk menghormati konstitusi kufur. Atau memuji hukum buatan manusia, hakim dan pengadilannya. Di antara mereka ada yang tidak membeda-bedakan itu sama sekali.
Setiap orang disikapi sesuai haknya. Dan tidak boleh melanggar batas-batas Allah dalam menyikapi mereka. Kita tidak boleh bersikap memukul rata mereka semua berdasarkan oknum yang kita lihat telah melakukan pembatal keimanan. Ini bukanlah sikap yang adil. Terutama bahwa mereka bukanlah kelompok yang memerangi Islam ataupun pembangkang. Mereka justru kelompok yang diperangi karena Islam dan agama mereka. Karena itu kita tidak boleh bermaksiat kepada Allah dengan sikap yang salah kepada mereka, meskipun mereka menyelisihi kita.
Kita tidak pantas melecehkan mereka meskipun sebagia mereka melecehkan dan menzalimi kita. Meskipun sebagian mereka menyebut kita ini teroris dan takfiri. Kita tidak harus menzalimi mereka meskipun mereka menzalimi kita. Sebaliknya, kita taat kepada Allah dalam menyikapi mereka, meskipun mereka menyelisihi kita.
Kita bertakwa kepada Allah dengan berbuat adil kepada mereka meskipun sebagian zalim terhadap kita. Dan mereka tidak bertakwa kepada Allah ketika mengomentari kita.
Itulah mestinya celupan (shibghah) gerakan kita. Itulah mestinya kerangka pikir, etika, dan acuan generasi, pemimpin dan guru-guru kita. Mereka (Kawan) lebih berhak mendapatkan sikap adil di antara manusia karena mereka sedang dizalimi. Mereka lebih berhak mendapatkan sikap seimbang karena mereka sedang dirongrong. Karena orang yang berani melakukan kezaliman lebih layak menjadi orang-orang yang lebih dibenci dan dijauhi. Merekalah yang tidak layak diperlakukan dengan baik. Siapa yang justru menikmati kepalsuan dan menyambut kebusukan aroma permusuhan, kezaliman, dan sistem kafir maka layak menjadi orang yang paling dijauhi.
Bencilah mereka karena perbuatan itu dan berusahalah adil. Inilah agama kita. Inilah akhlak kita. Kita memperlakukan manusia berdasarkan itu, bukan dengan akhlak mereka.
Bukanlah sikap ksatria dan dewasa bila kita mencela umat Islam yang menyelisihi kita saat mereka dalam musibah, penguasaan musuh-musuh Allah, dan penodaan kehormatan mereka. Siapa yang memusuhi mereka karena keislaman mereka, yang disebut moderat, maka dia lebih keras permusuhannya kepada kami dan keislaman kami yang disebut-sebut, ekstrem, radikal dan teroris. Putra-putra gerakan ini yang berada di bawah pengaruh kekuatan dan lisan musuh-musuh Allah maka diperlakukan seperti yang saya katakan dan diberi pengetahuan yang benar.
Salah satu prinsip utama Islam—yang telah kita pelajari, dan selalu kita ajarkan—bahwa setiap Muslim mendapatkan loyalitas sesuai kadar kedekatan dan ketaatannya pada agama. Kita membedakan antara muslim yang taat dan pelaku kejahatan. Kita tidak menyamakan antara masyarakat Muslim, musuh Islam, dan juga pelaku maksiat yang masih mengaku Islam. Kita tidak menzalimi dan melanggar ketentuan Allah dalam bersikap kepada mereka.
Orang fasik masih memiliki hak loyalitas dan pertolongan selama tidak keluar dari wilayah keislaman. Bahkan, Allah mengajarkan kita berlaku adil kepada orang yang lebih buruk daripada mereka. Lihatlah, Allah merinci sikap terhadap orang-orang munafik, dan tidak memukul rata karena perkataan sebagian mereka. Allah tidak memberlakukan untuk semua atas perbuatan sebagian mereka. Al-Qur’an menyebutkan, “Ingatlah, ketika sebagian dari mereka (orang-orang munafik) berkata….” “Dan sebagian dari mereka meminta izin….” “Dan sebagian mereka berkata, ‘Izinkanlah aku (tidak ikut berperang) dan janganlah engkau jerumuskan aku ke dalam fitnah.” “Dan di antara mereka ada yang mencela (orang-orang beriman) dalam sedekah.” “Di antara mereka ada yang menyakit Nabi ….” “Di antara mereka ada yang bersumpah kepada Allah jika Dia memberikan sebagian karunia-Nya, niscaya kami bersedekah dan menjadi orang yang saleh.” Demikianlah, Allah menyebut “sebagian dari mereka” dalam banyak ayat.
Allah juga merinci orang-orang Arab Badui. “Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu kerugian, dan Dia menanti-nanti bahaya menimpamu.” (At-Taubah: 98). Di ayat lain Allah berfirman, “Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa rasul.” (At-Taubah: 99)
Allah merinci, adil, dan memilah. Dialah pemilik keadilan, ketakwaan, dan ampunan. Ini semua untuk mengajari kita agar adil dan seimbang. Tidak serampangan, dan membedakan antara wali-wali Allah dan wali-wali setan.
Kita tidak boleh meletakkan kelompok-kelompok Islam—Ikhwan Muslimin atau lainnya—semuanya di satu timbangan dan satu vonis. Kita tidak boleh menyamakan antara orang yang tidak bergumul dengan pembatal keislaman dan orang yang bergumul di dalamnya. Bahkan terhadap orang yang bergumul dengan pembatal keimanan karena salah penafsiran, tanpa menunjukkan permusuhan dan tidak memerangi agama, harus disikapi berbeda dengan orang yang sengaja melakukannya, menentang, dan memerangi Islam dan pemeluknya.
Berdasarkan semua penjelasan tadi, maka tidak adillah menyamakan Ikhwan dengan orang-orang sekuler dan musuh-musuh agama yang memerangi umat Islam. Orang yang menghendaki kebaikan namun berbuat salah tidak sama dengan orang yang menghendaki kebatilan, baik ia sadar maupun tidak.
Saya juga tidak setuju dengan keluarnya pernyataan yang tidak baik itu yang tidak memperhatikan musibah kaum muslimin di Mesir. Serta duka yang melanda kaum laki-laki, wanita, anak-anak, dan orang tua mereka oleh konspirasi, penindasan, pengusiran, penangkapan, dan pembungkaman. Kehormatan mereka diinjak-injak, semua cacat ditudingkan kepada mereka.
Mengapa mereka justru mendukung pihak yang akan membasmi mereka (Ikhwan) dengan dukungan dana dari tiran di wilayah Teluk dan antek Amerika.
Orang-orang yang menjengukku (di penjara) mengabarkan kepadaku apa yang telah dilakukan oleh tentara thaghut Mesir dan loyalis mereka dengan berbagai nama dan bentuknya. Namun pada waktu yang sama saya juga diceritakan tentang statemen-statemen tadi. Mereka merasa muak (terhadap Ikhwan) dan bangga. Padahal kata-kata mereka jauh dari hikmah, taufik dan kebenaran. Saya ingin mengingatkan sabda Nabi saw tentang ghanimah perang Hunain. Ketika itu beliau memberikan banyak bagian kepada orang-orang Quraisy, sedangkan orang-orang Anshar tidak diberi bagian. Maka Nabi menjawab keraguan kaum Anshar, “Orang-orang Quraisy baru saja meninggalkan kejahiliahan dan musibah. Dan (dengan pemberian itu) aku ingin mengambil hati mereka.” (HR Tirmidzi).
Perhatikanlah beliau memperhitungkan musibah orang-orang Quraisy. Maksudnya ialah ketidakrelaan mereka atas Fathu Mekkah dan kemenangan kaum muslimin. Perhatikanlah akhlak yang agung ini. Dalam hal ini, orang-orang Quraisy dalam suasana duka namun berada dalam kekuasaan manusia yang paling adil. Bagaimana dengan duka umat Islam yang sedang berada di bawah tekanan musuh? Bukankah empati dan perhatian terhadap perasaan mereka lebih diutamakan?
Terakhir, saya memohon kepada saudara-saudara saya untuk memperhatikan tulisan guru kita, Ibnu Taimiyyah di awal juz keempat dari kitab Fatwanya, bagaimana beliau bersikap adil hingga terhadap kelompok-kelompok yang menyelisihi ahli sunah wal jamaah. Beliau menyebutkan kebaikan setiap kelompok meskipun sebesar apa pun mereka menyelisihi ahli sunah wal jamaah. Beliau menyebutkan bahwa kelompok mu’tazilah memiliki sesuatu yang dipuji. Di antaranya penolakan mereka terhadap syiah rafidhah yang telah keluar dari sunah dan hadits. Sebab, mereka mencela kepemimpinan Khulafaurrasyidin, keadilan sahabat, serta berlebih-lebihan terhadap Ali.
Ibnu Taimiyyah bersikap adil terhadap syiah masa awal kemunculannya, dan menjelaskan bahwa mereka lebih baik daripada mu’tazilah dalam hal menyelisihi mereka. Syiah masa itu mengimani sifat-sifat Allah, takdir, dan syafaat. Mereka juga patut dipuji dalam hal menyelisihi khawarij, yang mengafirkan Ali, Utsman dan selain keduanya, selain mengafirkan muslim karena dosa-dosanya. Mereka juga patut dipuji dalam hal menyelisihi murjiah meskipun tidak mengikuti sunah yang murni.
Ibnu Taimiyyah juga adil menyikapi ahli kalam, seperti kelompok Kilabiyah, Karamiyah, dan Asy’ariyah. Mereka patut dipuji dalam hal mengakui pokok iman dan menolak orang-orang kafir, musyrik, dan ahli kitab, serta menjelaskan kerapuhan hujjah mereka.
Mereka juga patut dipuji dalam hal membantah kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah, dan Qadariyah, yang dalam banyak hal menyelisihi ahli sunah wal jamaah.
Kemudian Ibnu Taimiyyah menyebutkan kelompok Asy’ariah yang banyak memiliki kesamaan dengan ahli sunah wal jamaah. Beliau berkata, “Akan tetapi, kesamaannya dalam hal itu telah menyudutkan orang yang menyelisihi dan menunjukkan kelemahan perkataannya. Ini semacam mujahid yang menang. Sebab, orang yang membantah ahli bid’ah itu disebut mujahid. Bahkan, Yahya bin Yahya mengatakan, ‘Menetapi sunah itu lebih utama daripada jihad. Sebab mujahid itu kadang-kadang berlaku maksiat. Seperti sabda Rasulullah saw, ‘Allah sungguh akan menguatkan agama ini dengan orang yang fajir dan dengan kaum yang tidak memiliki akhlak.”
Karena itulah, sunah mengajarkan jihad bersama setiap Amir, baik yang saleh maupun yang fajir. Jihad adalah amal yang harus diimbangi dengan syukur oleh pelakunya dalam amal yang tampak. Ini tidak dibantah lagi. Jihad dengan niat yang baik harus diwujudkan dalam syukur secara lahir dan batin. Bentuk syukurnya ialah menolong sunah dan Islam. Beginilah orang yang memenangkan Islam dan sunah. Disyukuri dalam bentuk itu. Maka pujian bagi hamba dari Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman disesuaikan dengan tingkat ketaatannya kepada agama Allah dan sunah Rasulullah, serta syariat-Nya dari setiap sisi. ….dan seterusnya sampai akhir ucapan Ibnu Taimiyyah (IV/13-15).
Dengan demikian, kita tahu dari guru kita bahwa beliau bersikap adil meskipun kepada kelompok yang menyelisihi kita, termasuk kepada kelompok yang tidak menikam dan memusuhi kita. Kita tidak boleh mendurhakai Allah dalam menyikapi mereka, meskipun mereka durhaka kepada Allah dalam menyikapi kita. Kita tidak menzalimi mereka meskipun mereka menzalimi kita. Kita tidak mencitrakan buruk mereka, meskipun mereka melakukan itu kepada kita.
Ahli Sunah itu sering kali disebut sebagai kelompok Hasyawiyah, Musyabbihah, Mujassimah, Nawashib, Khawarij dan lainnya yang sejatinya tidaklah demikian. Meskipun demikian, perhatikanlah sikap adil Ibnu Taimiyyah ketika menyebutkan sisi yang patut dipuji dan tidak menzalimi mereka.
Kita belajar bersikap adil kepada yang dekat dan yang jauh; yang sepaham dan yang menyelisihi; musuh dan teman. Kebencian kita kepada suatu kelompok tidaklah pantas menyebabkan kita meninggalkan keadilan. Nabi saw bersabda, “Bila kalian mengadili, berlakukah yang adil. Bila kalian berkata, sampaikanlah ucapan yang baik.” (HR Thabrani)
Di perang Hudzaibiyah, ketika unta Nabi saw mogok, seorang sahabat berkata, “Qaswa’ (nama unta Nabi saw) telah mogok jalan.” Maka Nabi saw bersabda tentang unta itu, “Ia tidaklah mogok. Itu bukanlah kehendaknya sendiri, melainkan ditahan oleh Yang menahan pasukan gajah.”
Perhatikanlah bagaimana keadilan Nabi saw dalam berbicara, meskipun terhadap binatang. Beliau berkata adil dan tidak menzalimi atau menyebutkan kata-kata yang tidak pantas.
Marilah bertakwa kepada Allah dan mengucapkan kata-kata yang baik. Marilah bertakwa kepada Allah dalam bersikap kepada umat Islam yang sedang berduka karena ditindas oleh thaghut, orang-orang murtad dan antek-antek mereka. Kita tidak sepantasnya membiarkan mereka. Atau mengabaikan dan menzalimi. Nabi saw bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzalimi dan tidak menyerahkan kepada musuh.” (HR Bukhari dan Muslim).
Di riwayat lain, “Tidak mengkhianati, mendustai, dan mengabaikan. Setiap Muslim haram bagi Muslim lainnya, baik kehormatan, harta dan darahnya. Takwa itu di sini—beliau menunjuk ke hati. Cukuplah seorang muslim menjadi buruk dengan mengabaikan saudaranya yang muslim.”
Di riwayat Ahmad dan lainnya, Nabi saw bersabda, “Tidaklah seorang muslim membiarkan seorang muslim di suatu tempat yang harga dirinya dinodai dan kehormatannya diinjak-injak, kecuali Allah akan membiarkannya di suatu tempat yang dia ingin mendapatkan pertolongan di sana.”
Maka kita hendaknya menjadi saksi-saksi bagi Allah dalam menegakkan kebenaran. Di hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya disebutkan, “Sesungguhnya ada seorang hamba berkata-kata dengan kalimat yang diridhai Allah, meskipun orang tersebut tidak memberi perhatian padanya (karena dianggap sederhana), namun karenanya Allah mengangkat derajatnya. Dan ada seorang hamba berkata-kata dengan kalimat yang dimurkai Allah dan orang tersebut tidak ambil peduli padanya, padahal karenanya Allah melemparkan ia ke dalam neraka jahannam. “
Sebagai penutup, saya selamanya tidak ingin saudara-saudara saya meniru rival kita dari kalangan jahmiyah dan murjiah, yang pada diri mereka sudah tidak jelas lagi timbangan wala wal bara’. Bahkan sesama mereka saling hantam. Kebanyakan dari mereka adakalanya justru bergembira atas penindasan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah dari kalangan antek-antek thaghut terhadap saudara-saudara kita. Kalau di antara kita ada yang ditangkap dan dipenjara, mereka justru mencela. Bahkan senang bila kita dibunuh. Sebagian dari mereka mengatakan, “Itu (dibunuh) lebih baik!” Sebagian lain mengatakan, “Itu sudah sepantasnya! Mereka (antek-antek thaghut) sudah benar tindakannya! Kita bebas dari gangguannya sekarang!” Dan ungkapan keji lainnya.
Ketika beberapa saudara kita menceritakan kepada saya, kegembiraan mereka itu, saya mengatakan, “Itu bukanlah sikap yang jantan dan dewasa, selain jauh dari ajaran agama. Mereka itu belum pernah merasakan kasih san kelembutan kepada orang beriman. Alangkah miripnya mereka dengan Khawarij yang memerangi umat Islam. Sedangkan penyembah berhala mereka biarkan saja.
Saya memohon kepada saudara-saudaraku, janganlah meniru mereka. Dan tentu saja kalian tidak seperti mereka.
Saya teringat peribahasa yang ucapkan kepada saya oleh salah seorang penjaga penjara intelijen, ketika dia melihat kondisiku di sel setelah saya keluar dari tempat penyiksaan. Ia memperhatikan saya dari sela sel. Saya pun membalas tatapannya dengan pandangan menantang. Saya melihatnya menatapku dengan tatapan penuh celaan. Maka ia mengatakan untuk menunjukkan empati, “Bukanlah pemberani anjing yang menggonggoi singa yang terbunuh, terluka dan terkurung di balik jeruji besi!!”
Ditulis oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi Dzul Qa’dah 1434 H
Diterjemahkan oleh Agus Abdullah
Sumber: Kiblat.net dan arrahmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar