Hampir di setiap
jengkal di mana terjadi penindasan atas umat Islam dewasa ini akibat
pengkhianatan saudaranya sesama muslim. Ironisnya, pengkhianatan terbesar
dilakukan oleh orang-orang yang dijuluki ulil amri, yakni para pemimpin
negeri-negeri kaum muslimin. Yang menyedihkan, keabsahan mereka mendapat
stempel legitimasi dari sebagian ulama dan kalangan kaum muslimin, sehingga
mereka bebas berlenggang-kangkung sebagai pemimpin yang sah, meski
pengkhianatan yang dilakukan mereka begitu vulgar dan telanjang. Akibatnya apa
pun upaya untuk mengkritisi-- apalagi melengserkan mereka – akan mendapatkan
tuduhan sebagai khowarij, sesat dan anjing-anjing neraka.
Lihat saja
Banglades, salah satu negeri yang dihuni mayoritas kaum muslimin. Apa yang
dilakukan pemerintah mereka kepada kaum Rohingya, yang masih bertalian saudara
baik karena agama maupun ras, begitu menyakitkan. Mereka setali tiga uang
dengan negara tetangganya yang musyrik itu. Bukannya membantu dengan mengirim
tentaranya memerangi kaum musyrik burma, tapi malah mencegah dan mengusir kaum
muslimin Rohingya yang tengah menderita dan terlunta-lunta. Mereka memang
benar-benar berhati kelam!
Begitu juga yang
terjadi dengan Saudi, Kuwait dan negara teluk lainnya saat negara penyebar
kemungkaran AS dan sekutunya menyerang Negara Islam Tholiban. Semua orang tahu
bahwa beberapa negara teluk menyediakan fasilitas lapangan terbangnya untuk
pesawat musuh yang akan membumi-hanguskan sebuah negeri, yang paling layak
disebut satu-satunya negara Islam di masa itu. Salah satu ulama yang
berpendapat bahwa Tholiban sebagai satu-satunya negara yang menerapkan Islam
secara kafah adalah Syaikh Hamud Uqla Asy Syu’aibi rohimahulloh, seorang ulama panutan mujahidin yang juga merupakan
guru dari beberapa masyaikh di negara Saudi.
Rosululloh
telah mengisyaratkan bahwa kekalahan umat Islam saat ini adalah akibat
pengkhianatan sebagian umat Islam atas sebagian yang lainnya. Inilah yang saat
ini sedang terjadi. Kehancuran umat Islam bukan oleh kekuatan musuh, bukan
karena kekuatan mereka, namun karena pengkhianatan sebagian umat Islam.
Para pengkhianat dari
kalangan kaum muslimin itu bekerjasama dengan para thagut dan orang-orang kafir untuk memerangi para mujahidin. Para pengkhianat itu
sendiri telah menjual darah daging saudaranya kepada musuh-musuh Islam dengan
imbalan yang tidak sedikit. Rosululloh shollollohu alaihi wa sallam
bersabda:
“Sesungguhnya aku sudah memohon kepada Robbku untuk umatku janganlah membinasakan
mereka dengan paceklik yang merajalela, jangan menundukkan mereka kepada musuh
dari luar kelompok mereka yang menodai kedaulatan mereka. Sesungguhnya Robbku berfirman: Wahai Muhammad!
Sungguh jika Aku telah menetapkan suatu ketetapan, maka tidak bisa ditolak. Aku
berikan kepada umatmu agar mereka tidak dibinasakan oleh paceklik yang merajalela
dan agar mereka tidak dikuasai oleh musuh dari luar mereka yang akan menodai
kedaulatan mereka, sekalipun musuh itu berkumpul dari seluruh penjuru dunia,
kecuali jika sebagian mereka membinasakan sebagian yang lain dan mereka saling
menawan satu sama lain.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)
Benar, di antara umat
Islam saling menawan satu sama lain, dan saling menikam dari belakang. Sebagian
lagi ada yang menjadi kaki tangannya dan adapula yang benar-benar menjadi budak
setia kaum kafir.
Kegagalan umat Islam dalam mewujudkan cita-citanya lebih
karena faktor loyalnya mereka terhadap musuh-musuh Islam.
Demikian pula
keberhasilan musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka menang
bukan karena kehebatan dan kekuatan yang dimilikinya, melainkan adanya sebagian
umat Islam yang bergabung bersama mereka.
“Keberhasilan” Amerika menjajah
negeri-negeri kaum muslimin dan bercokolnya Yahudi di tanah Palestina adalah
berkat dukungan sekutunya di Timur Tengah dan dunia Islam lainnya. Saudi
dan Negara-negara Arab lainnya juga memberikan dukungan yang cukup besar bagi
kesuksesan Amerika dalam menjalankan aksi terornya di Iraq dan Afghanistan.
Sebagian ada yang
memberikan dukungan materi seperti penyediaan tempat bagi pangkalan militer,
dan adapula yang memberi
dukungan moril dalam bentuk pernyataan dan fatwa-fatwa yang membolehkan Amerika untuk menyerang mujahidin yang ingin menegakkan syariat
Alloh.
Peristiwa
bergabungnya sebagian umat Islam bersama musuh-musuh Islam, secara tegas telah
dinubuwatkan oleh Rosululloh shollollohu alaihi wa sallam:
“Kiamat tidak akan terjadi hingga suku-suku dari umatku
bergabung dengan orang-orang musyrik dan hingga mereka menyembah berhala. Di
tengah umatku kelak akan ada 30 pendusta, masing-masing mengaku sebagai nabi,
padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.” (HR.Abu
Dawud dan Tirmidzi)
Kondisi ini belum
pernah terjadi di masa dahulu, kecuali pengkhianatan yang dilakukan para
pemimpin di kalangan syiah rofidhoh seperti Ibnu Al Qomi dan sebagian muslim sunni
yang bekerjasama dengan orang kafir untuk memenuhi ambisinya menguasai kaum muslimin. Ahli sejarah menyebut mereka sebagai pengkhianat dan para ulama
memvonisnya murtad.
Beberapa penguasa
yang divonis murtad di antaranya adalah Al Muta’ammid bin ‘Abad, seorang hakim
di Asybiliyah yang juga salah seorang kepala kabilah di Andalusia. Kesalahannya
adalah meminta bantuan pasukan Eropa untuk memerangi kaum muslimin. Ulama
penganut madzhab maliki memfatwakan bahwa pada waktu itu ia telah murtad dari
Islam. Peristiwa ini terjadi sesudah tahun 480 H. (Al Istiqsho li Akhbar Daul al Maghrib al Aqsho 2/75)
Pada penghujung
tahun 980 H pasukan Tartar menyerang negeri-negeri Islam di Syam dan lainnya.
Beberapa orang yang mengaku dirinya menganut Islam membantu mereka, maka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memfatwakan murtadnya orang yang membantu mereka.
Bahkan ada pernyataan tegas dari beliau bahwa seandainya kaum muslimin
mendapati dirinya berada di barisan musuh (sebagai tanda pengkhianatan) maka
jangan ragu untuk membunuhnya, meski beliau adalah guru mereka.
Pada tahun 980 H Muhammad
bin Abdillah As Su’ud salah seorang Raja Maroko meminta bantuan kepada Raja
Portugal untuk melawan pamannya sendiri Abu Marwan Al Mu’tashim Billah. Ulama
madzhab Maliki memfatwakan bahwa dia telah murtad. Perhatikanlah! Bagaimana
para ulama dahulu menetapkan vonis murtad lantaran raja tersebut meminta
bantuan orang kafir guna memerangi saudaranya, apatah lagi kebalikannya –
memberi bantuan pada orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Mungkinkah vonis
ulama dahulu akan lebih ringan seraya tetap menetapkan mereka sebagai waliyul
amri?
Selanjutnya di
awal abad ke 14 H, beberapa kabilah di Aljazair membantu pasukan perancis untuk
melawan kaum muslimin. Ahli fiqih dari Maroko, Syaikh Abul Hasan At Taswili
memfatwakan kekafiran mereka sebagaimana disebut dalam kitab “Ajwibah at Taswili ‘ala Masail al Amir
Abdil Qodir al Jazairi” hal 210.
Di pertengahan
abad ke 14, ketika bangsa Perancis dan Inggris menjajah Mesir dan negara arab
di sekitarnya Syaikh al ‘Allamah Ahmad Syakir rohimahulloh berfatwa tentang kafirnya orang yang membantu mereka
dengan bentuk bantuan apa pun, dalam risalah beliau “Kalimatu Haqq” hal 126-137. Fatwa beliau yang ditulis cukup
panjang tersebut berjudul Bayan ila al
Ummat al Mishriyyah Khosshotan wa ila al Ummat al Arobiyyah wa al Islamiyyah
‘Ammatan (Penjelasan untuk Rakyat Mesir khususnya serta Seluruh Rakyat Arab
dan Muslimin pada umumnya)
.
“Wajib atas
setiap muslim yang tinggal di belahan bumi mana pun juga untuk memerangi mereka
dan menyerang mereka di mana saja mereka dapat ditemukan, baik kalangan sipil
maupun militernya... sampai ucapan beliau: “Adapun tolong menolong dengan
Inggris dalam bentuk apa pun juga, sedikit maupun banyak, adalah bentuk
kemurtadan yang sempurna dan bentuk kekafiran yang jelas. Tidak diterima alasan
apapun yang untuk memperkenannya dan tidak bermanfaat takwilan mana pun juga.
Tiada seorang pun yang terbebas dari hukum itu baik dia seorang yang fanatik
dan dungu. Tidak boleh juga untuk siasat politik atau untuk bermanis muka,
karena itu semua adalah bentuk kemunafikan. Sama saja apakah itu dilakukan oleh
perorangan, negara maupun para pemimpin
negara. Semuanya dihukumi murtad secara setara walau dilakukan karena
ketidaktahuan...”
Duhai, apabila
beliau masih hidup hari ini, akankah beliau dilabeli sebagai ulama khowarij?!
Wallohu a’lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar