Oleh: Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Alloh Ta’ala berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka
adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain” [QS.
Al-Hujurot : 12]
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka,
karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam
ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus.
Tajassus ialah mencari-cari
kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya
merupakan efek dari prasangka yang buruk.
Rosululloh Shollollohu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka
buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita
kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling
membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Alloh yang bersaudara”
[HR Al-Bukhori no. 6064 dan Muslim no. 2563]
Amirul Mukminin Umar bin Khothob berkata, “Janganlah engkau berprasangka
terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan
persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu
kepada prasangka-prasangka yang baik”
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat
dalam surat Al-Hujurot.
Bakar bin Abdulloh Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab
Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang
sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian
berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah
Abdulloh bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan
saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan
untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah
kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat
sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di
hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata,
“Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”.
Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind [negara yang berbatasan
dengan India], Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau
berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari
kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?”
Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [Lihat
Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]
Komentar saya : “Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal
cerdas itu. Dan jawaban di atas salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhoh Al-‘Uqola (hal.131),
”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan
perbuatan tajassus dan senantiasa
sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk
memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka
hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat
kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat
kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa
sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri,
maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya
meninggalkan kejelekan dirinya”.
Beliau juga berkata pada hal.133, “Tajassus
adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik
merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik
kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang
yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak
segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.
Sumber : Rifqon Ahlassunnah bi
Ahlissunnah, Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon
Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit :
Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar