Hadits Online

Senin, 23 Juli 2012

Balada Rohingya 2: Sisi Gelap Burma


Berikut ini kami sajikan tulisan Abu Salma Al Atsari yang kami ambil dari situs http://dear.to/abusalma. Meskipun artikel ini ditulis lima tahun lalu tapi tetap relevan untuk ditampilkan di sini, mengingat kezholiman yang menimpa kaum muslimin Rohingya ternyata masih berlangsung hingga hari ini, dan belum ada langkah nyata dari komunitas internasional. Anda bisa membandingkan informasi dalam tulisan ini lima tahun lalu dengan kenyataan yang kini tengah dihadapi saudara kita di sana.

SISI GELAP BURMA
Realitas Tersembunyi Para Pendeta Budha Burma Terhadap Muslim Minoritas Burma

Dengan Nama Alloh yang Maha Pengasih Lagi Maha Pemurah
Segala puji hanyalah milik Alloh. Sholawat, Salam dan Barokah semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga beliau, sahabat beliau dan siapa saja yang loyal dengan beliau, berpegang teguh dengan sunnah beliau dan berpetunjuk dengan petunjuk beliau sampai hari kiamat.
Amma Ba’du :
Akhir-akhir ini, media massa dan elektronik baik di tanah air maupun luar negeri, sedang hangat-hangatnya membicarakan Burma. Metro TV, sebagai stasiun televisi swasta yang lebih menekankan kepada news & education, memberikan respek yang paling menonjol dibandingkan stasiun TV lainnya di tanah air terhadap kasus Burma. Bahkan, parodi “Republik Mimpi” selama beberapa episode akhir ini, tidak ketinggalan menunjukkan simpati dan solidaritas terhadap Burma yang tertindas.
Media massa barat juga tidak ketinggalan, mereka turut memberikan liputan khusus seputar Burma, yang notabene merupakan negara Budhis terbesar di dunia. Dengan slogan “Solidaritas Untuk Burma”, banyak mata manusia mengarah kepada negeri ini. Gejolak politik dan pemberontakan untuk memperjuangkan demokrasi di negeri ini dilakukan oleh para biarawan dan pendeta Budha. Banyak sekali perbincangan yang beredar tentang keterlibatan para pendeta Budha yang dikatakan ’pencinta damai’ ini di dalam aksi protes dan unjuk rasa, diantaranya disebabkan oleh pemerintah Burma yang menaikkan harga bensin, minyak tanah dan gas.
Para pendeta Budha di Pakkoku bahkan menyandera beberapa staf kantor pemerintahan dan mendesak pemerintah untuk meminta maaf karena telah mencederai beberapa pendeta Budha. Ketika pemerintah tidak mau meminta maaf, maka para pendeta Budha pun meningkatkan aksi protesnya dan menarik semua jasa pelayanan agamanya dari militer dan pemerintahan. Sebuah faksi yang disebut dengan ”Allience of All-Burmesse Budhist Monks” menjadi salah satu motor pemberontakan dan aksi protes. Media massa Barat pun menyoroti faksi ini dan memborbardir opini dengan memberikan gambaran aktivitas dan agenda para pendeta ini sebagai aksi heroik dan semisalnya.
Namun, Siapakah gerangan para pendeta Burma yang turun ke aktivitas revolusi seperti ini? Dan bagaimanakah nasib kaum muslimin Burma yang tidak tersentuh sama sekali oleh sorotan media massa dan informasi? Benarkah gambaran media massa terutama media barat yang menggambarkan bahwa agama Budha dan para pendetanya adalah ”Para Pencinta Damai” dan ”Penyebar Kasih Sayang” ? Kenapa, ketika masyarakat mayoritas Budha di Burma ditekan oleh pemerintah yang notabene juga mengklaim sebagai pemerintahan Budha menjadi sorotan dan fokus media, dalam rangka untuk mengumpulkan simpati dan solidaritas bagi mereka, sedangkan kaum muslimin di Palestina, Kosovo, Kashmir, Iraq dan negeri-negeri lainnya yang diinjak-injak oleh rezim lalim dan jahat tidak mendapatkan simpati dan solidaritas yang sama?!!
DR. Gabrielle Maranci, seorang ahli antropologi dan profesor termuda dari University of Aberdeen, mengatakan di dalam artikelnya yang berjudul “The Other, Invisible Suffering of Burma” [Penderitaan tidak terlihat lainnya di Burma] :
However, the mass media, which discusses and reports the opression of the Buddhist population by generals, neglects to inform you about another story, another tragedy. The ommision, when compared, is not very dissimilar from the western attitude, towards other muslim minority and refugee tragedies. Just to mention one, allow me to remain you of the case of Bosnia Herzegovina and its genocide that no body (not even muslims) commemorate. Muslims often play only one part in the drama of headline news, the evil character like the Indians in Hollywood Western Films, before Sergio Leone corrected the historical mistake…
“Walau demikian, media massa yang mendiskusikan dan melaporkan tentang kezhaliman yang menimpa populasi Budha secara umum, mengabaikan untuk menginformasikan kepada anda tentang cerita yang lain dan tragedi yang lain. Pengabaian semacam ini, ketika dibandingkan, tidaklah jauh berbeda dengan sikap masyarakat barat terhadap minoritas muslim dan tragedi para pengungsi muslim. Sebagai satu contoh, izinkan saya mengingatkan anda kejadian Bosnia Herzegovina dan genocide (pemusnahan massal) di dalamnya yang tidak ada seorang pun (bahkan muslim sekalipun) memperingatinya. Ummat Islam acap kali hanya memainkan satu bagian saja pada drama di berita utama, yaitu sifat yang buruk sebagaimana orang Indian yang digambarkan dalam Film Hollywood Barat, sebelum Sergio Leone mengoreksi kesalahan sejarah ini…”
Bagaimanakah keadaan ummat Islam di Burma? Berikut ini saya sarikan penjelasan DR. Marranci dalam artikelnya “The Other, Invisible Suffering of Burma”. Bagi yang ingin membaca lebih lengkapnya, silakan buka marranci.wordpress.com :
“Dari pandangan antropologi, pemberontakan di Burma cukup menarik perhatian, khususnya dari para ahli antropologi yang spesialisasinya terhadap masyarakat dan komunitas muslim. Ada dua hal yang menarik perhatianku, yang pertama adalah, bagaimana media massa barat menggambarkan pemberontakan ini, dan kedua, hampir tidak adanya satupun media atau referensi yang menjelaskan keadaan muslim Burma, yang disebut dengan Muslim Rohingya, dan apa yang mereka alami selama 3 dekade ini.
Ada beberapa stereotip berat yang mempengaruhi bagaimana media massa menggambarkan agama, dan konsekuensinya, bagaimana orang awam memahami agama. Untuk membuat sebuah cerita panjang menjadi singkat (tentu saja hal ini tidak bermaksud menggenerilisir), agama masih difahami dengan kacamata Manichean, yaitu kedamaian versus kekerasan, kebaikan versus kejahatan dan kebenaran versus kebatilan.
Tentu saja, pada kebanyakan kejadian, pembenahan politik (politic correctness) telah mentransformasi pidato kecaman apologetik berapi-api yang berasal dari abad pertengahan. Hari ini, diskursus (wacana) Manichean telah dilemparkan kepada para pembaca media massa melalui stereotip laten, yang mengesensikan agama sebagai ‘sesuatu yang nyata’, yaitu sebuah kekuatan kultural artifak, dimana aksi-aksi tersebut berasal.
Jadi, (menurut anggapan mereka) Budha itu adalah agama yang damai, Islam adalah agama yang agresif dan mengajarkan kekerasan, sedangkan Kritistiani adalah agama yang membingungkan. Media massa perlu mensimplifikasi (menyederhanakan) dan memperesentasikan berita dalam bentuk rentetan kesedihan yang meningkat, dalam rangka menarik perhatian dua bola mata anda dan merebut perhatian pikiran anda...”
DR. Marranci berkata kembali :
”Berikut ini adalah realita Burma yang mungkin anda belum pernah mendengarnya. Kaum muslimin di Burma adalah kaum minoritas yang teraniaya. Hal ini adalah cerita dan sejarah yang panjang yang saya akan berusaha meringkaskannya untuk anda.  Burma memiliki populasi muslim sebanyak 4% (para pemimpin muslim mengatakan ada 10%). Kehidupan kaum muslimin Burma tidak pernah mudah, sebagaimana keadaan muslim lainnya (yaitu Palestina) yang mendapatkan janji besar dari kita, pemerintah Inggris, namun mereka hanyalah menerima penelantaran dan kesengsaraan setelah berakhirnya kolonialisme Inggris.
Inilah kisah hidup masyarakat muslim Rohingya dan nasib suram mereka. Muslim Rohingya, paling banyak hidup di utara wilayah Rokhine dan besar populasi mereka adalah 4% dari total masyarakat Burma namun 50% di wilayah Rokhine (sebelumnya wilayah ini disebut Arkana). Islam menjangkau negeri ini melalui para saudagar pedagang Arab. Arkana dulunya adalah wilayah independen sampai tahun 1784 dan mereka mengembangkan budaya dan dialek bahasanya sendiri.
Pada tahun 1784, Raja Burma, Bodawpaya, mencaplok Arkana sebagai bagian wilayah kekuasaannya. Hal inilah yang membangkitkan perang geriyla berkepanjangan dengan masyarakat muslim, yang menurut para ahli sejarah, lenih dari 200.000 penduduk Arkana terbunuh. Banyak masyarakat lokal beragama Islam, pada waktu itu, dikurangi dengan cara memperbudkanya dan dipaksa bekerja membangun biara-biara Budha. Perang tetap terus berlanjut, namun sayangnya pada tahun 1796, lebih dari 2/3 masyarakat muslim Arkana harus pergi meninggalkan tanah airnya dan mengungsi di wilayah yang hari ini disebut sebagai Bangladesh.
Arkana masuk ke dalam wilayah kekuasaan Inggris pada tahun 1885, dan banyak muslim Arkana akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman mereka. Perjalanan antara kampung halaman mereka dan Bangladesh menjadi suatu ritual kejam yang harus mereka hadapi. Sampai perang dunia kedua, masyarakat muslim dan budha relatif dapat sedikit hidup bersama secara damai.
Semenjak Jepang menguasai negeri ini pada tahun 1942, sekali lagi kaum muslim Arkana, dipaksa pergi dari Arkana, termasuk pula Inggris. Kaum Budha merasa bahwa mereka memiliki kesempatan untuk membersihkan populasi muslim dari Arkana, menyebabkan 20.000 masyarakat Muslim Arkana harus pindah ke wilayah teritori Inggris di India (yaitu Bangladesh). Sebenarnya, ketika kaum Budha Rakhine mendukung Jepang, masyarakat muslim (Arkana), sebagaimana di wilayah lainnya (pada saat itu) mendukung armada Inggris.
Pemerintah inggris, sebagai rasa terima kasih kepada masyarakat muslim, menjanjikan Rohaningyas sebagai kekuasaan otonom bagi mereka di wilayah utara negeri. Banyak pengungsi memutuskan untuk kembali ke tanah air mereka, dengan penuh harapan akan adanya kemungkinan memiliki negara mereka sendiri (yang merdeka dan otonom). Namun, seperti biasanya di dalam hubungan dan sejarah Inggris dengan negara asing, janji tersebut tidak pernah diberikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa adanya fakta bahwa muslim (Arkana) mendukung Inggris dan berupaya memperoleh wilayah yang otonom di bagian utara negeri, menunjukkan bahwa muslim (Arkana) merasa curiga dengan rezim pemerintahan Burma dan masyarakat Budha pada umumnya.
Perasaan semacam ini pada kaum muslimin Burma, tidak hanya ada sampai hari ini, namun juga diperkuat setelah Thaliban menghancurkan patung Budha di Bayan. Masyarakat muslim di Burma, tidak dianggap sebagai warga negara. Mereka tidak memiliki hak dan seringkali mendapatkan dikriminasi dan dibunuh tanpa pandang bulu. Banyak dari mereka, terutama setelah tahun 1962 harus meninggalkan negara mereka dan hingga hari ini masih tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh, yang sebenarnya negara ini tidak menerima mereka.
Walaupun kaum muslimin juga turut ambil bagian dalam revolusi tahun 1988, dan lebih menerima dampak konsekuensi dari revolusi tersebut melebihi kaum Budha, namun mayoritas pendeta Budha dan kaum Budhist memiliki sentimen anti Islam, terutama berangkat dari kekhawatiran terjadinya kemungkinan pernikahan interras. Selebaran-selebaran yang mengagung-agungkan kemurnian ras dan Budhisme, yang membangkitkan sentimen anti Islam, telah disebarluaskan semenjak tahun 2001 (yaitu Myo Pyauk Hmar Soe Kyauk Hla Tai atau Kekhawatiran akan hilangnya ras).
Publikasi yang menghasut ini, menyerukan untuk melawan Islam, sebagaimana merebaknya isu/fitnah yang menyebutkan adanya muslim yang memperkosa anak-anak di jalan, menghasut terjadinya rentetan kericuhan para pendeta untuk melawan keluarga muslim dan menghancurkan masjid-masjid. Sehingga banyak kaum muslimin terbunuh dan masjid-masjid hancur, dan sekali lagi, masyarakat muslim Rohingya harus mengungsi kembali ke Bangladesh...”
Sungguh aneh, apa yang diutarakan oleh DR. Marranci ini tidak tersentuh oleh media massa baik barat maupun tanah air. Simpati dan solidaritas mereka –bahkan ironinya oleh sebagian ummat Islam-, diberikan kepada para pejuang ‘demokrasi’ kufur yang beragama paganis Budha, kaum musyrikin yang mensekutukan Alloh. Dimana solidaritas dan simpati untuk kaum muslimin yang teraniaya di Burma?! Bahkan dimana solidaritas dan simpati untuk kaum muslimin di Palestina yang dijajah yang menyuarakan kemerdekaannya? Untuk kaum muslimin di Kashmir, Kosovo, India dan bumi Alloh lainnya?!!
Sungguh benar apa yang difirmankan Alloh Subhanahu wa Ta’ala :
ل“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (QS al-Maidah : 82)
Al-Imam Abu Ja’far berkata mengomentari ayat di atas :
 “Alloh Ta’ala berfirman menyebutkan kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam : Sesungguhnya benar-benar engkau dapati wahai Muhammad, orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang Islam yang membenarkanmu dan mengikutimu serta membenarkan apa yang kamu bawa, adalah Yahudi dan orang-orang musyrik, yaitu para penyembah berhala yang menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan yang mereka sembah selain Alloh.” [Lihat : Jami’ al-Bayan fi Ta’wilil Qur`an, Abu Ja’far ath-Thobari, tahqiq : Ahmad Syakir, cet. 1, 1420, Mu`assassah ar-Risalah]

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar