Berikut
ini kami sajikan tulisan Abu Salma Al Atsari yang kami ambil dari situs http://dear.to/abusalma. Meskipun artikel ini ditulis lima tahun lalu tapi
tetap relevan untuk ditampilkan di sini, mengingat kezholiman yang menimpa kaum
muslimin Rohingya ternyata masih berlangsung hingga hari ini, dan belum ada
langkah nyata dari komunitas internasional. Anda bisa membandingkan informasi
dalam tulisan ini lima tahun lalu dengan kenyataan yang kini tengah dihadapi
saudara kita di sana.
SISI GELAP BURMA
Realitas Tersembunyi Para Pendeta
Budha Burma Terhadap Muslim Minoritas Burma
Dengan Nama
Alloh yang Maha Pengasih Lagi Maha Pemurah
Segala puji hanyalah milik Alloh.
Sholawat, Salam dan Barokah semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad, kepada keluarga beliau, sahabat beliau dan siapa saja yang loyal
dengan beliau, berpegang teguh dengan sunnah beliau dan berpetunjuk dengan
petunjuk beliau sampai hari kiamat.
Amma
Ba’du :
Akhir-akhir ini, media massa dan
elektronik baik di tanah air maupun luar negeri, sedang hangat-hangatnya
membicarakan Burma. Metro TV, sebagai stasiun televisi swasta yang lebih
menekankan kepada news & education, memberikan respek yang paling
menonjol dibandingkan stasiun TV lainnya di tanah air terhadap kasus Burma.
Bahkan, parodi “Republik Mimpi” selama beberapa episode akhir ini, tidak
ketinggalan menunjukkan simpati dan solidaritas terhadap Burma yang tertindas.
Media massa barat juga tidak
ketinggalan, mereka turut memberikan liputan khusus seputar Burma, yang
notabene merupakan negara Budhis terbesar di dunia. Dengan
slogan “Solidaritas Untuk Burma”, banyak mata manusia mengarah kepada negeri
ini. Gejolak politik dan pemberontakan untuk memperjuangkan demokrasi di negeri
ini dilakukan oleh para biarawan dan pendeta Budha. Banyak sekali perbincangan
yang beredar tentang keterlibatan para pendeta Budha yang dikatakan ’pencinta
damai’ ini di dalam aksi protes dan unjuk rasa, diantaranya disebabkan oleh
pemerintah Burma yang menaikkan harga bensin, minyak tanah dan gas.
Para pendeta Budha di Pakkoku bahkan
menyandera beberapa staf kantor pemerintahan dan mendesak pemerintah untuk
meminta maaf karena telah mencederai beberapa pendeta Budha. Ketika pemerintah
tidak mau meminta maaf, maka para pendeta Budha pun meningkatkan aksi protesnya
dan menarik semua jasa pelayanan agamanya dari militer dan pemerintahan. Sebuah
faksi yang disebut dengan ”Allience of All-Burmesse Budhist Monks” menjadi
salah satu motor pemberontakan dan aksi protes. Media massa Barat pun menyoroti
faksi ini dan memborbardir opini dengan memberikan gambaran aktivitas dan
agenda para pendeta ini sebagai aksi heroik dan semisalnya.
Namun, Siapakah gerangan para pendeta
Burma yang turun ke aktivitas revolusi seperti ini? Dan bagaimanakah nasib kaum
muslimin Burma yang tidak tersentuh sama sekali oleh sorotan media massa dan
informasi? Benarkah gambaran media massa terutama media barat yang
menggambarkan bahwa agama Budha dan para pendetanya adalah ”Para Pencinta
Damai” dan ”Penyebar Kasih Sayang” ? Kenapa, ketika masyarakat mayoritas Budha
di Burma ditekan oleh pemerintah yang notabene juga mengklaim sebagai pemerintahan
Budha menjadi sorotan dan fokus media, dalam rangka untuk mengumpulkan simpati
dan solidaritas bagi mereka, sedangkan kaum muslimin di Palestina, Kosovo,
Kashmir, Iraq dan negeri-negeri lainnya yang diinjak-injak oleh rezim lalim dan
jahat tidak mendapatkan simpati dan solidaritas yang sama?!!
DR. Gabrielle Maranci, seorang ahli
antropologi dan profesor termuda dari University of Aberdeen, mengatakan di
dalam artikelnya yang berjudul “The Other, Invisible Suffering of Burma”
[Penderitaan tidak terlihat lainnya di Burma] :
However, the mass media, which discusses
and reports the opression of the Buddhist population by generals, neglects to
inform you about another story, another tragedy. The ommision, when compared,
is not very dissimilar from the western attitude, towards other muslim minority
and refugee tragedies. Just to mention one, allow me to remain you of the case
of Bosnia Herzegovina and its genocide that no body (not even muslims)
commemorate. Muslims often play only one part in the drama of headline news,
the evil character like the Indians in Hollywood Western Films, before Sergio
Leone corrected the historical mistake…
“Walau demikian, media massa yang
mendiskusikan dan melaporkan tentang kezhaliman yang menimpa populasi Budha
secara umum, mengabaikan untuk menginformasikan kepada anda tentang cerita yang
lain dan tragedi yang lain. Pengabaian semacam ini, ketika dibandingkan,
tidaklah jauh berbeda dengan sikap masyarakat barat terhadap minoritas muslim
dan tragedi para pengungsi muslim. Sebagai satu contoh, izinkan saya
mengingatkan anda kejadian Bosnia Herzegovina dan genocide (pemusnahan
massal) di dalamnya yang tidak ada seorang pun (bahkan muslim sekalipun)
memperingatinya. Ummat Islam acap kali hanya memainkan satu bagian saja pada
drama di berita utama, yaitu sifat yang buruk sebagaimana orang Indian yang
digambarkan dalam Film Hollywood Barat, sebelum Sergio Leone mengoreksi
kesalahan sejarah ini…”
Bagaimanakah keadaan ummat Islam di
Burma? Berikut ini saya sarikan penjelasan DR. Marranci
dalam artikelnya “The Other, Invisible Suffering of Burma”. Bagi yang ingin
membaca lebih lengkapnya, silakan buka marranci.wordpress.com :
“Dari pandangan antropologi,
pemberontakan di Burma cukup menarik perhatian, khususnya dari para ahli
antropologi yang spesialisasinya terhadap masyarakat dan komunitas muslim. Ada
dua hal yang menarik perhatianku, yang pertama adalah, bagaimana media massa
barat menggambarkan pemberontakan ini, dan kedua, hampir tidak adanya satupun
media atau referensi yang menjelaskan keadaan muslim Burma, yang disebut dengan
Muslim Rohingya, dan apa yang mereka alami selama 3 dekade ini.
Ada beberapa stereotip berat yang
mempengaruhi bagaimana media massa menggambarkan agama, dan konsekuensinya,
bagaimana orang awam memahami agama. Untuk membuat sebuah cerita panjang
menjadi singkat (tentu saja hal ini tidak bermaksud menggenerilisir), agama
masih difahami dengan kacamata Manichean, yaitu kedamaian versus
kekerasan, kebaikan versus kejahatan dan kebenaran versus kebatilan.
Tentu saja, pada kebanyakan kejadian,
pembenahan politik (politic correctness) telah mentransformasi pidato
kecaman apologetik berapi-api yang berasal dari abad pertengahan. Hari ini,
diskursus (wacana) Manichean telah dilemparkan kepada para pembaca media
massa melalui stereotip laten, yang mengesensikan agama sebagai ‘sesuatu yang
nyata’, yaitu sebuah kekuatan kultural artifak, dimana aksi-aksi tersebut
berasal.
Jadi, (menurut anggapan mereka) Budha
itu adalah agama yang damai, Islam adalah agama yang agresif dan mengajarkan
kekerasan, sedangkan Kritistiani adalah agama yang membingungkan. Media
massa perlu mensimplifikasi (menyederhanakan) dan memperesentasikan berita
dalam bentuk rentetan kesedihan yang meningkat, dalam rangka menarik perhatian
dua bola mata anda dan merebut perhatian pikiran anda...”
DR. Marranci berkata kembali :
”Berikut ini adalah realita Burma yang
mungkin anda belum pernah mendengarnya. Kaum muslimin di Burma adalah kaum
minoritas yang teraniaya. Hal ini adalah cerita dan sejarah yang panjang yang
saya akan berusaha meringkaskannya untuk anda.
Burma memiliki populasi muslim sebanyak 4% (para pemimpin muslim
mengatakan ada 10%). Kehidupan kaum muslimin Burma tidak pernah mudah,
sebagaimana keadaan muslim lainnya (yaitu Palestina) yang mendapatkan janji
besar dari kita, pemerintah Inggris, namun mereka hanyalah menerima
penelantaran dan kesengsaraan setelah berakhirnya kolonialisme Inggris.
Inilah kisah hidup masyarakat muslim
Rohingya dan nasib suram mereka. Muslim Rohingya, paling banyak hidup di utara
wilayah Rokhine dan besar populasi mereka adalah 4% dari total masyarakat Burma
namun 50% di wilayah Rokhine (sebelumnya wilayah ini disebut Arkana). Islam
menjangkau negeri ini melalui para saudagar pedagang Arab. Arkana dulunya
adalah wilayah independen sampai tahun 1784 dan mereka mengembangkan budaya dan
dialek bahasanya sendiri.
Pada tahun 1784, Raja Burma, Bodawpaya,
mencaplok Arkana sebagai bagian wilayah kekuasaannya. Hal inilah yang
membangkitkan perang geriyla berkepanjangan dengan masyarakat muslim, yang
menurut para ahli sejarah, lenih dari 200.000 penduduk Arkana terbunuh. Banyak
masyarakat lokal beragama Islam, pada waktu itu, dikurangi dengan cara
memperbudkanya dan dipaksa bekerja membangun biara-biara Budha. Perang tetap
terus berlanjut, namun sayangnya pada tahun 1796, lebih dari 2/3 masyarakat
muslim Arkana harus pergi meninggalkan tanah airnya dan mengungsi di wilayah
yang hari ini disebut sebagai Bangladesh.
Arkana masuk ke dalam wilayah kekuasaan
Inggris pada tahun 1885, dan banyak muslim Arkana akhirnya memutuskan untuk
kembali ke kampung halaman mereka. Perjalanan antara kampung halaman mereka dan
Bangladesh menjadi suatu ritual kejam yang harus mereka hadapi. Sampai perang
dunia kedua, masyarakat muslim dan budha relatif dapat sedikit hidup bersama
secara damai.
Semenjak Jepang menguasai negeri ini
pada tahun 1942, sekali lagi kaum muslim Arkana, dipaksa pergi dari Arkana,
termasuk pula Inggris. Kaum Budha merasa bahwa mereka memiliki kesempatan untuk
membersihkan populasi muslim dari Arkana, menyebabkan 20.000 masyarakat Muslim
Arkana harus pindah ke wilayah teritori Inggris di India (yaitu Bangladesh).
Sebenarnya, ketika kaum Budha Rakhine mendukung Jepang, masyarakat muslim
(Arkana), sebagaimana di wilayah lainnya (pada saat itu) mendukung armada
Inggris.
Pemerintah inggris, sebagai rasa terima
kasih kepada masyarakat muslim, menjanjikan Rohaningyas sebagai kekuasaan
otonom bagi mereka di wilayah utara negeri. Banyak pengungsi memutuskan untuk
kembali ke tanah air mereka, dengan penuh harapan akan adanya kemungkinan
memiliki negara mereka sendiri (yang merdeka dan otonom). Namun, seperti
biasanya di dalam hubungan dan sejarah Inggris dengan negara asing, janji
tersebut tidak pernah diberikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa adanya fakta
bahwa muslim (Arkana) mendukung Inggris dan berupaya memperoleh wilayah yang
otonom di bagian utara negeri, menunjukkan bahwa muslim (Arkana) merasa curiga
dengan rezim pemerintahan Burma dan masyarakat Budha pada umumnya.
Perasaan semacam ini pada kaum muslimin
Burma, tidak hanya ada sampai hari ini, namun juga diperkuat setelah Thaliban
menghancurkan patung Budha di Bayan. Masyarakat muslim di Burma, tidak dianggap
sebagai warga negara. Mereka tidak memiliki hak dan seringkali mendapatkan
dikriminasi dan dibunuh tanpa pandang bulu. Banyak dari mereka, terutama
setelah tahun 1962 harus meninggalkan negara mereka dan hingga hari ini masih
tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh, yang sebenarnya negara ini
tidak menerima mereka.
Walaupun kaum muslimin juga turut ambil
bagian dalam revolusi tahun 1988, dan lebih menerima dampak konsekuensi dari
revolusi tersebut melebihi kaum Budha, namun mayoritas pendeta Budha dan kaum
Budhist memiliki sentimen anti Islam, terutama berangkat dari kekhawatiran
terjadinya kemungkinan pernikahan interras. Selebaran-selebaran yang
mengagung-agungkan kemurnian ras dan Budhisme, yang membangkitkan sentimen anti
Islam, telah disebarluaskan semenjak tahun 2001 (yaitu Myo Pyauk Hmar Soe
Kyauk Hla Tai atau Kekhawatiran akan hilangnya ras).
Publikasi yang menghasut ini, menyerukan
untuk melawan Islam, sebagaimana merebaknya isu/fitnah yang menyebutkan adanya
muslim yang memperkosa anak-anak di jalan, menghasut terjadinya rentetan
kericuhan para pendeta untuk melawan keluarga muslim dan menghancurkan
masjid-masjid. Sehingga banyak kaum muslimin terbunuh dan masjid-masjid hancur,
dan sekali lagi, masyarakat muslim Rohingya harus mengungsi kembali ke
Bangladesh...”
Sungguh aneh, apa yang diutarakan oleh
DR. Marranci ini tidak tersentuh oleh media massa baik barat maupun tanah air.
Simpati dan solidaritas mereka –bahkan ironinya oleh sebagian ummat Islam-,
diberikan kepada para pejuang ‘demokrasi’ kufur yang beragama paganis Budha,
kaum musyrikin yang mensekutukan Alloh. Dimana solidaritas dan
simpati untuk kaum muslimin yang teraniaya di Burma?! Bahkan
dimana solidaritas dan simpati untuk kaum muslimin di Palestina yang dijajah
yang menyuarakan kemerdekaannya? Untuk kaum muslimin di Kashmir, Kosovo, India
dan bumi Alloh lainnya?!!
Sungguh benar apa yang difirmankan Alloh
Subhanahu wa Ta’ala :
ل“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik.” (QS
al-Maidah : 82)
Al-Imam Abu Ja’far berkata mengomentari
ayat di atas :
“Alloh
Ta’ala berfirman menyebutkan kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa Salam : Sesungguhnya benar-benar engkau dapati wahai Muhammad,
orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang Islam yang
membenarkanmu dan mengikutimu serta membenarkan apa yang kamu bawa, adalah
Yahudi dan orang-orang musyrik, yaitu para penyembah berhala yang menjadikan
berhala-berhala sebagai sesembahan yang mereka sembah selain Alloh.” [Lihat : Jami’
al-Bayan fi Ta’wilil Qur`an, Abu Ja’far ath-Thobari, tahqiq : Ahmad Syakir,
cet. 1, 1420, Mu`assassah ar-Risalah]
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar