Ternyata hidup
prihatin dan pas-pasan bukan merupakan halangan seseorang untuk menjadi seorang
dermawan. Jika seseorang mempunyai niat dan tekad yang kuat, halangan sebesar
apa pun niscaya mampu disingkirkannya. Mau buktinya? Lihat saja kisah yang satu
ini. Di usianya yang renta dan hidup serba pas-pasan, kakek ini masih mampu menjadi
donatur sebuah yayasan yatim piatu di daerah tempat tinggalnya, padahal pada
kondisi yang sama banyak orang akan berfikir, bahkan hanya sekadar untuk
bersedekah seribu atau dua ribu rupiah. “Buat sendiri aja gak cukup, apalagi
untuk orang lain,” begitu salah satu alasan mereka.
Dikisahkan, kakek
tua berusia 74 tahun ini hampir tak pernah beli makanan untuk dirinya sendiri agar bisa
menyumbangkan seluruh uang
hasil jerih payahnya ke
yayasan tersebut. Kakek tua ini
bernama Bai Fang Li, salah
satu penduduk Tianjin, China. Perbuatan mulia ini dilakukannya selama hampir 17
tahun, saat usianya mencapai 91 tahun. Subhanalloh...
Bai Fang Li hanyalah seorang tukang becak.
Hidupnya sederhana namun
semangat juangnya tinggi.
Pergi pagi pulang malam mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia
menggunakan jasanya. Ia tinggal di gubuk sederhana di Tianjin.
Ia hampir tak pernah
beli makanan karena makanan ia dapatkan dengan cara memulung. Begitupun
pakaiannya. Apakah hasil membecaknya tak cukup untuk membeli makanan dan
pakaian? Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih
layak. Namun ia lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk
menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.
Terinspirasi anak kecil
Bai Fang Li mulai
tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun. Saat
itu ia tak sengaja melihat seorang anak usia 6 tahunan yang sedang menawarkan
jasa untuk membantu ibu-ibu mengangkat belanjaannya di pasar. Usai mengangkat
barang belanjaan, ia mendapat upah dari para ibu yang tertolong jasanya.
Namun yang membuat
Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di tempat sampah untuk makannya.
Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya. Ketika ia tanya,
ternyata si anak tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli
makan. Ia gunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun
di gubuk di mana mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai pemulung dan
orangtuanya entah di mana.
Bai Fang Li yang
berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya. Setelah itu ia membawa
ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di mana di sana ada ratusan anak yang
diasuh. Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang
hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan disumbangkan
untuk yayasan yatim piatu tersebut.
Tanpa pamrih apa pun
Bai Fang Li memulai
menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari
yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat
dari uang sumbangannya. Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke
yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak
sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa
sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000.
Dengan uang sumbangan
terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp
472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya
menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun 2005, Bai Fang Li meninggal setelah
terserang sakit kanker paru -paru.
Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang
orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak
beruntung. Meski hidup prihatin dari
mengayuh becak -- yang jika
diukur rute mengayuh becak sepanjang karirnya menjadi tukang becak sama
dengan 18 kali keliling bumi--
ia punya kepedulian yang tinggi yang tak terperikan. (sumber: nbnewsmakers.blogspot.com)
***
Semoga Kisah Tukang Becak Bai Fang Li ini menjadi ibroh dan pelajaran buat kita semua, khususnya saya sendiri yang memposting artikel
ini, untuk saling membantu sesama kita yang kesusahan. Walaupun hidup serba pas-pasan ternyata kita tetap bisa membantu orang lain dengan apapun yang bisa kita berikan.
Dalam Islam,
sifat dan perbuatan seperti ini disebut itsar
atau mengutamakan orang lain daripada diri sendiri. Ada banyak anjuran baik
dalam Kitab Suci Al Qur’an maupun hadits Nabi. Bahkan tidak sedikit kisah
kedermawanan para shahabat Rasululloh saw dan generasi sesudahnya yang
diriwayatkan kepada kita. Anda mungkin pernah membaca kisah bagaimana shahabat
Rasululloh, Abu Bakar Ash Shidiq ra menyumbangkan seluruh hartanya untuk
kepentingan kaum muslimin, atau kisah tiga shahabat yang terluka parah dan
kehausan dalam satu peperangan yang akhirnya meninggal satu persatu karena
menolak meminum air sebelum kawannya lebih dulu.
Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, katanya: "Ada
seorang lelaki datang kepada Nabi saw lalu berkata:
"Sesungguhnya saya sangat lapar."
Beliau lalu menyuruh seseorang ke tempat
sebahagian isterinya -- untuk meminta sesuatu yang hendak disedekahkan, lalu isterinya
itu berkata: "Demi Zat yang mengutus Tuan dengan benar, saya tidak
mempunyai sesuatu melainkan air." Kemudian beliau menyuruh lagi ke tempat
isterinya yang lain, maka yang ini pun mengatakan sebagaimana di atas itu. Jadi
mereka itu semuanya mengatakan seperti itu pula, yaitu:
"Tidak ada, demi Zat yang mengutus Tuan dengan benar, saya tidak mempunyai
sesuatu melainkan air." Beliau lalu bersabda: - kepada sahabat-sahabatnya:
"Siapakah yang akan membawa orang ini sebagai tamunya pada malam
ini?" Seorang lelaki dari golongan Anshar berkata: "Saya, ya
Rasulullah." Orang itu berangkat dengan tamunya ke tempat kediamannya,
lalu berkata kepada isterinya: "Muliakanlah tamu Rasulullah saw ini."
Dalam
riwayat lain disebutkan: "Orang itu berkata kepada isterinya: "Apakah
engkau mempunyai sesuatu jamuan?" Isterinya menjawab: "Tidak ada,
kecuali makanan untuk anak-anakku." Lelaki itu berkata pula: "Lakukanlah sesuatu sehingga mereka terlupa dari makan
malamnya. Jadi kalau sudah waktunya mereka makan malam, maka nina-bobokanlah
mereka. Jikalau tamu kita telah masuk rumah, lalu padamkanlah lampunya dan berilah kesan padanya bahwa kita seolah ikut makan.
Demikianlah lalu mereka duduk-duduk kemudian tamu itupun makan sementara tuan rumah semalaman dalam keadaan perut kosong. Ketika menjelang pagi harinya, orang itu -- yang menjadi tuan rumah -- pergi kepada Nabi saw untuk menceritakan peristiwa malam itu lalu beliau bersabda: "Benar-benar Allah menjadi heran dari
kelakuan
kalian berdua terhadap tamumu tadi malam." (Muttafaq
'alaih)
Begitulah akhlaq
para shahabat dahulu, meski kekurangan tak menghalangi berbuat kebaikan. Dan
ternyata cerita seperti ini juga terjadi di zaman modern ini, di mana orang
lebih mementingkan diri sendiri, toh masih ada orang-orang berhati mulia, seperti
yang dilakukan kakek renta yang hanya berprofesi sebagai penarik becak di atas.
Sebagai seorang muslim, seharusnya kita lebih termotivasi berbuat hal yang sama.
Sebab seorang muslim akan mendapatkan dua kebaikan, yang tidak diberikan kepada
selain mereka, yakni kebaikan di dunia berupa kemudahan dalam tiap urusannya
dan kebaikan di akhirat berupa surga...
SubhanAllah!
BalasHapus