Hadits Online

Sabtu, 14 Juli 2012

Tukang Becak Berhati Mulia: Hidup Prihatin Agar Bisa Menyumbang



Ternyata hidup prihatin dan pas-pasan bukan merupakan halangan seseorang untuk menjadi seorang dermawan. Jika seseorang mempunyai niat dan tekad yang kuat, halangan sebesar apa pun niscaya mampu disingkirkannya. Mau buktinya? Lihat saja kisah yang satu ini. Di usianya yang renta dan hidup serba pas-pasan, kakek ini masih mampu menjadi donatur sebuah yayasan yatim piatu di daerah tempat tinggalnya, padahal pada kondisi yang sama banyak orang akan berfikir, bahkan hanya sekadar untuk bersedekah seribu atau dua ribu rupiah. “Buat sendiri aja gak cukup, apalagi untuk orang lain,” begitu salah satu alasan mereka.
Dikisahkan, kakek tua berusia 74 tahun ini hampir tak pernah beli makanan untuk dirinya sendiri agar bisa menyumbangkan seluruh uang hasil jerih payahnya ke yayasan tersebut. Kakek tua ini bernama Bai Fang Li, salah satu penduduk Tianjin, China. Perbuatan mulia ini dilakukannya selama hampir 17 tahun, saat usianya mencapai 91 tahun. Subhanalloh...
 Bai Fang Li hanyalah seorang tukang becak. Hidupnya sederhana namun semangat juangnya tinggi. Pergi pagi pulang malam mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia menggunakan jasanya. Ia tinggal di gubuk sederhana di Tianjin.
 Ia hampir tak pernah beli makanan karena makanan ia dapatkan dengan cara memulung. Begitupun pakaiannya. Apakah hasil membecaknya tak cukup untuk membeli makanan dan pakaian? Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih layak. Namun ia lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.
 Terinspirasi anak kecil
 Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun. Saat itu ia tak sengaja melihat seorang anak usia 6 tahunan yang sedang menawarkan jasa untuk membantu ibu-ibu mengangkat belanjaannya di pasar. Usai mengangkat barang belanjaan, ia mendapat upah dari para ibu yang tertolong jasanya.
 Namun yang membuat Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di tempat sampah untuk makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya. Ketika ia tanya, ternyata si anak tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli makan. Ia gunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun di gubuk di mana mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai pemulung dan orangtuanya entah di mana.
 Bai Fang Li yang berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di mana di sana ada ratusan anak yang diasuh. Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.
 Tanpa pamrih apa pun
 Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya. Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000.
 Dengan uang sumbangan terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun 2005, Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru -paru.
Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup prihatin dari mengayuh becak -- yang jika diukur rute mengayuh becak sepanjang karirnya menjadi tukang becak sama dengan 18 kali keliling bumi-- ia punya kepedulian yang tinggi yang tak terperikan. (sumber: nbnewsmakers.blogspot.com)
***
Semoga Kisah Tukang Becak Bai Fang Li ini  menjadi ibroh dan pelajaran buat kita semua, khususnya saya sendiri yang memposting artikel ini, untuk saling membantu sesama kita yang kesusahan. Walaupun hidup serba pas-pasan ternyata kita tetap bisa membantu orang lain dengan apapun yang bisa kita berikan.
Dalam Islam, sifat dan perbuatan seperti ini disebut itsar atau mengutamakan orang lain daripada diri sendiri. Ada banyak anjuran baik dalam Kitab Suci Al Qur’an maupun hadits Nabi. Bahkan tidak sedikit kisah kedermawanan para shahabat Rasululloh saw dan generasi sesudahnya yang diriwayatkan kepada kita. Anda mungkin pernah membaca kisah bagaimana shahabat Rasululloh, Abu Bakar Ash Shidiq ra menyumbangkan seluruh hartanya untuk kepentingan kaum muslimin, atau kisah tiga shahabat yang terluka parah dan kehausan dalam satu peperangan yang akhirnya meninggal satu persatu karena menolak meminum air sebelum kawannya lebih dulu.
Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, katanya: "Ada seorang lelaki datang kepada Nabi saw lalu berkata: "Sesungguhnya saya sangat lapar." Beliau lalu menyuruh seseorang ke tempat sebahagian isterinya -- untuk meminta sesuatu yang hendak disedekahkan, lalu isterinya itu berkata: "Demi Zat yang mengutus Tuan dengan benar, saya tidak mempunyai sesuatu melainkan air." Kemudian beliau menyuruh lagi ke tempat isterinya yang lain, maka yang ini pun mengatakan sebagaimana di atas itu. Jadi mereka itu semuanya mengatakan seperti itu pula, yaitu: "Tidak ada, demi Zat yang mengutus Tuan dengan benar, saya tidak mempunyai sesuatu melainkan air." Beliau lalu bersabda: - kepada sahabat-sahabatnya: "Siapakah yang akan membawa orang ini sebagai tamunya pada malam ini?" Seorang lelaki dari golongan Anshar berkata: "Saya, ya Rasulullah." Orang itu berangkat dengan tamunya ke tempat kediamannya, lalu berkata kepada isterinya: "Muliakanlah tamu Rasulullah saw ini."
Dalam riwayat lain disebutkan: "Orang itu berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu jamuan?" Isterinya menjawab: "Tidak ada, kecuali makanan untuk anak-anakku." Lelaki itu berkata pula: "Lakukanlah sesuatu sehingga mereka terlupa dari makan malamnya. Jadi kalau sudah waktunya mereka makan malam, maka nina-bobokanlah mereka. Jikalau tamu kita telah masuk rumah, lalu padamkanlah lampunya dan berilah kesan padanya bahwa kita seolah ikut makan. Demikianlah lalu mereka duduk-duduk kemudian tamu itupun makan sementara tuan rumah semalaman dalam keadaan perut kosong. Ketika menjelang pagi harinya, orang itu -- yang menjadi tuan rumah -- pergi kepada Nabi saw untuk menceritakan peristiwa malam itu lalu beliau bersabda: "Benar-benar Allah menjadi heran dari kelakuan kalian berdua terhadap tamumu tadi malam." (Muttafaq 'alaih)
Begitulah akhlaq para shahabat dahulu, meski kekurangan tak menghalangi berbuat kebaikan. Dan ternyata cerita seperti ini juga terjadi di zaman modern ini, di mana orang lebih mementingkan diri sendiri, toh masih ada orang-orang berhati mulia, seperti yang dilakukan kakek renta yang hanya berprofesi sebagai penarik becak di atas. Sebagai seorang muslim, seharusnya kita lebih termotivasi berbuat hal yang sama. Sebab seorang muslim akan mendapatkan dua kebaikan, yang tidak diberikan kepada selain mereka, yakni kebaikan di dunia berupa kemudahan dalam tiap urusannya dan kebaikan di akhirat berupa surga...

1 komentar: