Hadits Online

Minggu, 22 Juli 2012

Balada Rohingya: Hadza li Yaumin Sajaiz


Membaca kisah sedih kaum muslimin Rohingya di Burma, salah satu negara yang menjadi tetangga negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, saya menjadi teringat dengan sebuah hadits Rosululloh sholollohu alaihi wasallam berikut ini: Dari Tsauban, ia berkata, "Rasulullah sholollohu alaihi wasallam bersabda, 'Nyaris saja bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam) sebagaimana memperebutkan makanan di mangkuknya.' Lalu seseorang berkata, 'Apakah saat itu kita kaum minoritas?' Rasulullah menjawab, '(Tidak) bahkan kalian saat itu berjumlah sangat banyak, hanya saja kalian bagaikan buih yang terhempas (di lautan). Allah mengeluarkan dari hati musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian, dan Allah akan melempar kelemahan di dalam hati kalian.' Lalu orang yang bertanya tadi kembali bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kelemahan itu?' Beliau menjawab, '(Rasa kelemahan itu karena) cenderung mencintai dunia dan membenci kematian'." [Shahih Sunan Abu Daud (4297), Al Misykah (5369), Ash-Shahihah (956)].
Realitas yang kini tengah dihadapi saudara kita di negeri penyembah patung itu juga mengingatkan saya dengan satu kisah tentang hilangnya izzah (kemuliaan) di tengah kaum muslimin di abad pertengahan. Kisah ini saya dengar dalam sebuah rekaman kajian, yang disampaikan oleh seorang ustadz – semoga Alloh subhanahu wa ta’ala mencurahkan kasih sayang-Nya yang luas dan menerima amal baik beliau. Meskipun kisah ini belum bisa dipastikan kebenarannya, namun agaknya bisa menjadi potret hampir sebagian besar kaum muslimin hari ini. Kisah tentang seorang pemuda dengan senjatanya. Kisah tentang... hadza li yaumin sajaiz ... yang kurang lebih artinya: senjata ini untuk saat yang kepepet... ini untuk satu waktu yang kritis...
Dikisahkan, di zaman abad pertengahan hiduplah satu keluarga muslim yang terdiri dari seorang pemuda, isteri dan seorang anak mereka yang masih kecil. Keluarga kecil ini hidup berbahagia. Begitu juga dengan penduduk sekitar mereka.
Namun di suatu malam, ketenangan mereka tiba-tiba terusik. Segerombolan perampok menyambangi desa mereka dan menjarah satu persatu rumah penduduk. Suara hiruk pikuk terdengar di sana sini. Tak lama tibalah giliran rumah keluarga muslim ini. Brakkk! Pintu rumah mereka didobrak paksa. Sang pemuda segera menyambar sebilah pedang yang ada di rumah mereka. Sementara isteri dan anaknya yang ketakutan berlindung di balik tubuhnya. Namun apa yang terjadi selanjutnya.
Pemuda itu tertegun sejenak. Dengan tubuh gemetar sembari menggenggam erat pedangnya ia bergumam, “Hadza li yaumin sajaiz... senjata ini belum waktunya kugunakan...saat ini belum waktu yang memungkinkan”
Suasana hening sesaat. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada tindakan apa-apa. Para perampok yang sempat terkejut dengan aksi pemuda itu, menjadi berani. Mereka kemudian dengan leluasa menjarah isi rumah disaksikan pemuda ini yang kini berdiri mematung sambil sebentar-sebentar menggumam, “hadza li yaumin sajaiz...” Barangkali pemuda itu berfikir, lebih baik harta hilang dari pada nyawa melayang.
Tidak lama perampok itu pergi. Tidak ada darah tertumpah. Tapi harta pasangan suami isteri ini ludes digasak kawanan perampok tersebut.

Datang lagi dan datang lagi
Dasar perampok. Di mana-mana pun mereka sama. Salah satu sifat mereka adalah bengis dan serakah. Tak ada kata cukup buat diri mereka. Beberapa hari kemudian mereka datang lagi.
Ketika sampai di rumah si pemuda, adegan yang sama terulang. Si pemuda segera mengambil pedang. Tapi seperti semula, pemuda itu tak melakukan apa-apa. Ia hanya bergumam sambil menggenggam erat pedangnya, “Hadza li yaumin sajaiz... ini baru kugunakan untuk saat-saat kritis...” Tidak terjadi apa-apa.
Sang perampok bertambah bengis dan kurang ajar. Mereka menyeret isterinya ke kamar diikuti tatapan nanar si pemuda. Lamat-lamat seiring isak tangis menghiba isterinya dan jerit tangis anaknya, terdengar kata-kata dengan suara lirih, “Hadza li yaumin sajaiz...” Cuma itu yang terdengar dari mulut si pemuda.
Tidak berapa lama sang perampok keluar dari kamar dengan mulut menyeringai. Dengan tawa terbahak-bahak ia keluar dari rumah diiringi linangan air mata suami isteri tersebut. Tak ada darah tertumpah. Tapi, hari itu ada kehormatan telah dicabik-cabik.
Belum sembuh trauma yang mendera keluarga muslim itu, beberapa hari kemudian gerombolan perampok itu datang. Dan... adegan yang sama terulang. Si pemuda, meski menggenggam pedang di tangan, ia tak melakukan apa-apa. Ia hanya mengulang-ulang kata dengan lirih, “Hadza li yaumin sajaiz...” Namun itulah ucapan terakhirnya. Sebab para perampok durjana itu segera membantai mereka satu persatu. Dengan suara sekarat masih terdengar ucapan lirih, “Hadza li yaumin sajaiz...” Di wajahnya terbayang sosok anak isterinya yang telah dibantai lebih dulu di depan matanya.
Inilah kisah hilangnya izzah di tengah-tengah kaum muslimin. Kisah merebaknya penyakit individualisme yang menjangkiti kita. Kita selalu berfikir belum saatnya... belum saatnya... karena masalah belum terjadi di depan mata. Kalau toh sudah terjadi di depan mata, kita selalu menunda-nunda untuk bertindak, karena sasarannya bukan kita. Begitu kesadaran itu datang, manakala bahaya menghampiri kita, ternyata sudah terlambat. Kita tak berdaya apa-apa lagi karena tidak mempersiapkan diri.
Tiap hari kita disuguhi berita tentang perampokan dan penjarahan di berbagai negara, yang korbannya mayoritas kaum muslimin, tapi hanya sedikit yang tergugah. Itu pun tak banyak yang bisa mereka lakukan. Jika ada yang ingin melakukan langkah nyata, segera bermunculan komentar miring, bahkan hingga taraf menghalang-halangi. Ironinya, penyakit ini merata menghinggapi tiap negeri kaum muslimin.
Apa yang terjadi dan menimpa kaum muslimin di Afghanistan, Irak, Chechnya, Turkistan Timur, Kashmir, Patani Thailand, Moro Filipina, Yaman, Suriah dan terakhir yang paling menyayat hati, apa yang menimpa saudara kita suku Rohingya di Burma, belum juga menggugah hati kita untuk mewujud seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuh ikut merasakan panas dingin. Bahkan sepanjang pengetahuan saya, belum ada tindakan nyata dari para “ulil amri” di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini dan negara-negara tetangganya, hatta sekadar mengutuk perbuatan pemerintah Burma. Begitu juga dengan lembaga dunia seperti PBB.
Mengapa saya katakan, peristiwa genocida (berlebihan kah istilah yang saya gunakan?) yang menimpa saudara kita di Burma begitu menyayat hati ketimbang di tempat lain, seperti Suriah misalnya. Apa yang terjadi di Suriah tidak begitu menyedihkan saya. Mengapa? Sebab di sana ada perlawanan meskipun dengan kadar tidak seimbang.Sebaliknya di Burma berlangsung nyaris tanpa perlawanan. Padahal sudah puluhan, atau mungkin ratusan , nyawa melayang. Kaum wanitanya diperkosa, bahkan ada yang sampai meninggal, bukan hanya oleh etnis yang memusuhi mereka tapi juga oleh aparat militernya. Ratusan rumah hangus dibakar. Ribuan saudara kita kehilangan tempat tinggal. Sementara saudara kita, yang terdiri dari wanita, anak-anak dan lelaki paruh baya yang berusaha menyelamatkan diri ke negara tetangga dengan mengarungi lautan diusir kembali. Konon ada yang akhirnya tenggelam atau ditenggelamkan. Sayangnya pemberitaan tentang derita kaum muslimin Rohingya sering luput dari liputan media massa pada umumnya, yang kebanyakan dikuasai kaum non muslim atau muslim sekuler. Kalau toh ada ditampilkan dengan porsi yang tak memadai. Sungguh miris! Untungnya masih ada media-media Islam yang menaruh perhatian, seperti voa-islam.com, arrahmah.com, hidayatullah.com dan eramuslim.com, yang melaporkan kondisi terkini kaum muslimin Rohingya. Namun saya pesimis, apakah “ulil amri” negeri (bukan negara lho!) kaum muslimin terbesar di dunia ini menyempatkan waktu untuk membacanya. Mengingat seperti yang sudah-sudah, media Islam (terutama kategori garis keras) dipandang dengan penuh kecurigaan. Jadi wajar yang dibaca pastilah pemberitaan yang bersifat mengandung “ancaman”, sementara yang menyentuh sisi manusiawi luput dari perhatian.
Memang, kondisi umat menjelang akhir zaman sudah diprediksi dengan tepat oleh Rosululloh sholollohu alaihi wasallam. Sebagaimana tercantum dalam hadits di awal tulisan ini. “...’Apakah saat itu kita kaum minoritas ya Rasululloh?' tanya seorang shahabat. Rasulullah menjawab, '(Tidak) bahkan kalian saat itu berjumlah sangat banyak, hanya saja kalian bagaikan buih yang terhempas (di lautan). Allah mengeluarkan dari hati musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian, dan Allah akan melempar kelemahan di dalam hati kalian.' Yang membuat saya sedih dan malu, ternyata saya pun merupakan bagian dari buih tersebut. Tidak bisa berbuat apa-apa. Hadza li yaumin sajaiz...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar