Membaca kisah sedih kaum muslimin Rohingya di Burma,
salah satu negara yang menjadi tetangga negeri berpenduduk muslim terbesar di
dunia ini, saya menjadi teringat dengan sebuah hadits Rosululloh sholollohu alaihi wasallam berikut ini: Dari Tsauban, ia berkata,
"Rasulullah sholollohu
alaihi wasallam
bersabda, 'Nyaris saja bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam)
sebagaimana memperebutkan makanan di mangkuknya.' Lalu seseorang berkata,
'Apakah saat itu kita kaum minoritas?' Rasulullah menjawab, '(Tidak) bahkan
kalian saat itu berjumlah sangat banyak, hanya saja kalian bagaikan buih yang
terhempas (di lautan). Allah mengeluarkan dari hati musuh-musuh kalian rasa
takut terhadap kalian, dan Allah akan melempar kelemahan di dalam hati kalian.'
Lalu orang yang bertanya tadi kembali bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah
kelemahan itu?' Beliau menjawab, '(Rasa kelemahan itu karena) cenderung
mencintai dunia dan membenci kematian'." [Shahih Sunan Abu Daud (4297), Al Misykah (5369), Ash-Shahihah (956)].
Realitas yang kini tengah dihadapi saudara kita di negeri
penyembah patung itu juga mengingatkan saya dengan satu kisah tentang hilangnya
izzah (kemuliaan) di tengah kaum muslimin di abad pertengahan. Kisah ini saya
dengar dalam sebuah rekaman kajian, yang disampaikan oleh seorang ustadz –
semoga Alloh subhanahu wa ta’ala
mencurahkan kasih sayang-Nya yang luas dan menerima amal baik beliau. Meskipun
kisah ini belum bisa dipastikan kebenarannya, namun agaknya bisa menjadi potret
hampir sebagian besar kaum muslimin hari ini. Kisah tentang seorang pemuda
dengan senjatanya. Kisah tentang... hadza
li yaumin sajaiz ... yang kurang lebih artinya: senjata ini untuk saat yang
kepepet... ini untuk satu waktu yang kritis...
Dikisahkan, di zaman abad pertengahan hiduplah satu
keluarga muslim yang terdiri dari seorang pemuda, isteri dan seorang anak mereka
yang masih kecil. Keluarga kecil ini hidup berbahagia. Begitu juga dengan
penduduk sekitar mereka.
Namun di suatu malam, ketenangan mereka tiba-tiba
terusik. Segerombolan perampok menyambangi desa mereka dan menjarah satu
persatu rumah penduduk. Suara hiruk pikuk terdengar di sana sini. Tak lama
tibalah giliran rumah keluarga muslim ini. Brakkk! Pintu rumah mereka didobrak
paksa. Sang pemuda segera menyambar sebilah pedang yang ada di rumah mereka. Sementara
isteri dan anaknya yang ketakutan berlindung di balik tubuhnya. Namun apa yang
terjadi selanjutnya.
Pemuda itu tertegun sejenak. Dengan tubuh gemetar sembari
menggenggam erat pedangnya ia bergumam, “Hadza
li yaumin sajaiz... senjata ini belum waktunya kugunakan...saat ini belum
waktu yang memungkinkan”
Suasana hening sesaat. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada
tindakan apa-apa. Para perampok yang sempat terkejut dengan aksi pemuda itu,
menjadi berani. Mereka kemudian dengan leluasa menjarah isi rumah disaksikan
pemuda ini yang kini berdiri mematung sambil sebentar-sebentar menggumam,
“hadza li yaumin sajaiz...” Barangkali pemuda itu berfikir, lebih baik harta
hilang dari pada nyawa melayang.
Tidak lama perampok itu pergi. Tidak ada darah tertumpah.
Tapi harta pasangan suami isteri ini ludes digasak kawanan perampok tersebut.
Datang lagi dan
datang lagi
Dasar perampok. Di mana-mana pun mereka sama. Salah satu
sifat mereka adalah bengis dan serakah. Tak ada kata cukup buat diri mereka.
Beberapa hari kemudian mereka datang lagi.
Ketika sampai di rumah si pemuda, adegan yang sama
terulang. Si pemuda segera mengambil pedang. Tapi seperti semula, pemuda itu
tak melakukan apa-apa. Ia hanya bergumam sambil menggenggam erat pedangnya,
“Hadza li yaumin sajaiz... ini baru kugunakan untuk saat-saat kritis...” Tidak
terjadi apa-apa.
Sang perampok bertambah bengis dan kurang ajar. Mereka
menyeret isterinya ke kamar diikuti tatapan nanar si pemuda. Lamat-lamat
seiring isak tangis menghiba isterinya dan jerit tangis anaknya, terdengar kata-kata
dengan suara lirih, “Hadza li yaumin sajaiz...” Cuma itu yang terdengar dari
mulut si pemuda.
Tidak berapa lama sang perampok keluar dari kamar dengan
mulut menyeringai. Dengan tawa terbahak-bahak ia keluar dari rumah diiringi
linangan air mata suami isteri tersebut. Tak ada darah tertumpah. Tapi, hari
itu ada kehormatan telah dicabik-cabik.
Belum sembuh trauma yang mendera keluarga muslim itu,
beberapa hari kemudian gerombolan perampok itu datang. Dan... adegan yang sama
terulang. Si pemuda, meski menggenggam pedang di tangan, ia tak melakukan
apa-apa. Ia hanya mengulang-ulang kata dengan lirih, “Hadza li yaumin sajaiz...”
Namun itulah ucapan terakhirnya. Sebab para perampok durjana itu segera
membantai mereka satu persatu. Dengan suara sekarat masih terdengar ucapan
lirih, “Hadza li yaumin sajaiz...” Di wajahnya terbayang sosok anak isterinya
yang telah dibantai lebih dulu di depan matanya.
Inilah kisah hilangnya izzah di tengah-tengah kaum
muslimin. Kisah merebaknya penyakit individualisme yang menjangkiti kita. Kita
selalu berfikir belum saatnya... belum saatnya... karena masalah belum terjadi
di depan mata. Kalau toh sudah terjadi di depan mata, kita selalu menunda-nunda
untuk bertindak, karena sasarannya bukan kita. Begitu kesadaran itu datang,
manakala bahaya menghampiri kita, ternyata sudah terlambat. Kita tak berdaya
apa-apa lagi karena tidak mempersiapkan diri.
Tiap hari kita disuguhi berita tentang perampokan dan
penjarahan di berbagai negara, yang korbannya mayoritas kaum muslimin, tapi
hanya sedikit yang tergugah. Itu pun tak banyak yang bisa mereka lakukan. Jika
ada yang ingin melakukan langkah nyata, segera bermunculan komentar miring,
bahkan hingga taraf menghalang-halangi. Ironinya, penyakit ini merata
menghinggapi tiap negeri kaum muslimin.
Apa yang terjadi dan menimpa kaum muslimin di
Afghanistan, Irak, Chechnya, Turkistan Timur, Kashmir, Patani Thailand, Moro
Filipina, Yaman, Suriah dan terakhir yang paling menyayat hati, apa yang
menimpa saudara kita suku Rohingya di Burma, belum juga menggugah hati kita
untuk mewujud seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh yang sakit
maka seluruh tubuh ikut merasakan panas dingin. Bahkan sepanjang pengetahuan
saya, belum ada tindakan nyata dari para “ulil amri” di negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia ini dan negara-negara tetangganya, hatta sekadar
mengutuk perbuatan pemerintah Burma. Begitu juga dengan lembaga dunia seperti
PBB.
Mengapa saya katakan, peristiwa genocida (berlebihan kah istilah yang saya gunakan?) yang menimpa
saudara kita di Burma begitu menyayat hati ketimbang di tempat lain, seperti
Suriah misalnya. Apa yang terjadi di Suriah tidak begitu menyedihkan saya.
Mengapa? Sebab di sana ada perlawanan meskipun dengan kadar tidak seimbang.Sebaliknya
di Burma berlangsung nyaris tanpa perlawanan. Padahal sudah puluhan, atau
mungkin ratusan , nyawa melayang. Kaum wanitanya diperkosa, bahkan ada yang
sampai meninggal, bukan hanya oleh etnis yang memusuhi mereka tapi juga oleh aparat
militernya. Ratusan rumah hangus dibakar. Ribuan saudara kita kehilangan tempat
tinggal. Sementara saudara kita, yang terdiri dari wanita, anak-anak dan lelaki
paruh baya yang berusaha menyelamatkan diri ke negara tetangga dengan
mengarungi lautan diusir kembali. Konon ada yang akhirnya tenggelam atau
ditenggelamkan. Sayangnya pemberitaan tentang derita kaum muslimin Rohingya
sering luput dari liputan media massa pada umumnya, yang kebanyakan dikuasai
kaum non muslim atau muslim sekuler. Kalau toh ada ditampilkan dengan porsi
yang tak memadai. Sungguh miris! Untungnya masih ada media-media Islam yang
menaruh perhatian, seperti voa-islam.com, arrahmah.com, hidayatullah.com dan
eramuslim.com, yang melaporkan kondisi terkini kaum muslimin Rohingya. Namun
saya pesimis, apakah “ulil amri” negeri (bukan negara lho!) kaum muslimin
terbesar di dunia ini menyempatkan waktu untuk membacanya. Mengingat seperti
yang sudah-sudah, media Islam (terutama kategori garis keras) dipandang dengan
penuh kecurigaan. Jadi wajar yang dibaca pastilah pemberitaan yang bersifat
mengandung “ancaman”, sementara yang menyentuh sisi manusiawi luput dari
perhatian.
Memang,
kondisi umat menjelang akhir zaman sudah diprediksi dengan tepat oleh
Rosululloh sholollohu alaihi wasallam.
Sebagaimana tercantum dalam hadits di awal tulisan ini. “...’Apakah
saat itu kita kaum minoritas ya
Rasululloh?' tanya seorang shahabat. Rasulullah
menjawab, '(Tidak) bahkan kalian saat itu berjumlah sangat banyak, hanya
saja kalian bagaikan buih yang terhempas (di lautan). Allah mengeluarkan dari
hati musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian, dan Allah akan melempar
kelemahan di dalam hati kalian.' Yang
membuat saya sedih dan malu, ternyata saya pun merupakan bagian dari buih
tersebut. Tidak bisa berbuat apa-apa. Hadza
li yaumin sajaiz...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar