Hadits Online

Jumat, 10 Agustus 2012

Fatwa Seputar I’tikaf


ITIKAF DAN SYARAT-SYARATNYA


Pertanyaan.
Sy
ekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya : Apakah itikaf pada bulan Romadhon termasuk sunnat mu'akkad dan apa syaratnya pada selain Romadhon .? [Athif Muh.Ali Yusuf, Riyadh]

Jawaban.
I
tikaf pada bulan Romadhon adalah sunnah Nabi Shollollohu 'alaihi wa sallam serta para istrinya setelah beliau tiada. Bahkan ulama sepakat bahwa itikaf disunnatkan. Tetapi sepatutnya itikaf dilakukan sesuai dengan yang diperintahkan, yakni seseorang selalu berada di masjid untuk ta'at kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dengan meninggalkan kegiatan duniawinya dan mengerjakan berbagai keta'atan berupa shalat, dzikir atau lainnya. Rasul Shollollohu 'alaihi wa sallam beritikaf dalam rangka menemukan malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Yang sedang itikaf itu menjauhi segala aktivitas dunia ; tidak jual atau beli, tidak keluar masjid, tidak mengantar jenazah dan tidak menengok yang sakit.

Ada sebagian orang beri
tikaf lalu ditemui beberapa orang pada tengah malam atau di ujung hari dengan diselingi obrolan yang diharamkan, maka cara seperti ini menghilangkan maksud itikaf. Kecuali bila dikunjungi oleh salah seorang keluarganya, seperti Shofiyyah pernah mengunjungi Nabi Shollollohu 'alaihi wa sallam ketika sedang beritikaf dan berbincang-bincang. Yang penting hendaknya seseorang menjadikan itikafnya sebagai cara mendekatkan diri kepada Alloh.

BOLEHKAH ITIKAF SELAIN KETIGA MASJID

Pertanyaan.
Sy
ekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah beritikaf pada selain ketiga masjid dan apa dasar hukumnya .?

Jawaban.
Beri
tikaf pada selain ketiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabi dan Masjid Aqsha) adalah boleh berdasarkan makna umum firman Alloh :

" Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid". [Al-Baqarah : 187]

Ayat tersebut berlaku untuk segenap kaum muslimin. Jika kita katakan bahwa yang dimaksud masjid dalam ayat di atas hanya ketiga masjid, tentu banyak kaum muslimin yang tidak terpanggil, sebab mayoritas kaum muslimin berada di luar Mekkah, Medinah dan Qadas (Palestina).

Dengan demikian, kami katakan bahwa i
tikaf boleh pada masjid-masjid yang ada. Jika hadits mengatakan bahwa tidak ada itikaf kecuali dalam tiga masjid, maka maksudnya adalah tidak ada itikaf yang lebih sempurna dan lebih utama kecuali tiga masjid. Memang seperti itu kenyataannya. Bahkan bukan sekedar itikaf, nilai sholatnya punya kelebihan tersendiri. Yakni sholat di Masjidil Harom bernilai seratus ribu sholat. Sholat di Masjid Nabawi lebih baik dari seribu sholat kecuali di Masjidil Harom dan shalat di Masjidil Aqsha' bernilai lima ratus shalat. Inilah pahala-pahala yang dapat diraih seseorang dalam ketiga masjid tersebut, seperti melaksanakan sholat berjama'ah, sholat kusuf dan tahiyatul masjid. Sedangkan sholat sunat rawatib (sebelum atau sesudah shalat fardu) lebih baik dilaksanakan di rumah. Karena itu, kami katakan di Mekkah : "Sholat rawatibmu di rumah lebih baik dari pada di Masjidil Harom. Begitu pula yang dilaksanakan di Madinah, karena Nabi Shollollohu 'alaihi wa sallam, ketika berada di Madinah bersabda :

" Sebaik-baik shalat sunat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat maktubah (wajib)".

Sedangkan sh
olat Tarawih walau sunnat tetap lebih baik dilaksanakan di masjid karena diperintahkan agar dilaksanakan secara berjama'ah.

BOLEHKAH YANG BERITIKAF MENGAJAR SESEORANG

Pertanyaan.
Sy
ekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya : Sahkah orang yang sedang beri'tikaf mengajarkan ilmu kepada seseorang .?

Jawaban.
Sebaiknya orang yang beri
tikaf mengkhususkan dirinya untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu seperti dzikir, sholat, membaca Al-Qur'an atau hal lainnya. Namun jika dibutuhkan, tak ada halangan baginya mengajari seseorang, sebab inipun termasuk ke dalam makna dzikir kepada Allah.

BERKOMUNIKASI DENGAN YANG BERI'TIKAF MELALUI TELEPON

Pertanyaan.
Sy
ekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah yang sedang beri'tikaf berkomunikasi melalui telpon untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin ..?

Jawab :
Memang dibolehkan bagi yang sedang beri'tikaf mengadakan komunikasi melalui telpon dalam memenuhi kebutuhan sebagian kaum muslimin, bila telpon itu berada di dalam masjid tempat i'tikafnya, sebab ia tidak keluar masjid. Kecuali jika telpon itu berada di luar masjid, maka ia tak boleh pergi meninggalkan i'tikafnya. Seseorang tidak boleh beri'tikaf bila sedang mengurus kepentingan kaum muslimin, sebab mengurus kepentingan umum itu lebih penting dari pada i'tikaf, kecuali jika kepentingan umum itu sedikit manfaatnya.

SAAT-SAAT YANG BERI'TIKAF MENINGGALKAN ITIKAF

Pertanyaan.
Sy
ekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya : Kapan yang beri'tikaf meninggalkan i'tikafnya, apakah sesudah terbenam mentari di malam hari raya atau setelah fajar hari rayanya .?

Jawaban.
Masalah i'tikaf itu berakhir dengan berakhirnya Romadhon. Akhir Romadhon terjadi ketika mentari terbenam di malam hari raya. Misalnya, orang memasuki i'tikaf pada saat matahari terbenam di malam dua puluh Romadhon, maka sepuluh hari terakhirnya dimulai dari sejak matahari itu terbenam sampai terbenamnya pula di malam hari raya.

ORANG TUA YANG TIDAK MENGIZINKAN ANAKNYA BERITIKAF

Pertanyaan.
Sy
ekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukum seseorang yang tak diizinkan beri'tikaf oleh orang tuanya karena sebab-sebab yang tak dapat diterima..?

Jawaban.
I'tikaf itu sunnat hukumnya. Sedang berbakti kepada kedua orang tua adalah wajib. Perkara sunnat tak bisa menggugurkan yang wajib, sebab yang wajib mesti diutamakan. Dalam hadits Qudsy, All
oh berfirman :

"Artinya : Tidaklah hambaku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-senangi kecuali pada apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya".

Apabila ayahmu melarangmu beri'tikaf dengan alasan-alasan yang menurutmu untuk tidak beri'tikaf karena kamu dibutuhkan, maka pertimbangannya berada di tangan ayahmu, bukan pada kamu. Sebab bisa jadi pertimbanganmu tak tepat ketika ingin beri'tikaf. Jika alasan ayahmu dapat diterima, maka saya sarankan kamu jangan beri'tikaf. Tetapi jika ayahmu tak menyebutkan alasan yang jelas, maka larangannya tak mesti diikuti agar kamu tak kehilangan suatu manfa'at.

BERITIKAF DENGAN MENINGGALKAN TUGAS

Pertanyaan.
Sy
ekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang beri'tikaf selama dua puluh lima hari Romadhon dengan meninggalkan tugas kewajibannya sebagai pegawai, maka bagaimana hukumnya .?

Jawaban.
Tidak diragukan bahwa orang yang beri'tikaf dengan meninggalkan kewajibannya sebagai pegawai berarti telah berijtihad. Akan tetapi, ijtihad tanpa hukum syara' adalah perbuatan keliru. Memang seseorang akan diberi pahala bila ia berijtihad dan menginginkan suatu kebenaran, tetapi hendaknya ijtihad itu didasarkan atas Kitab dan Sunnah.

Orang yang meninggalkan tugas kepegawaiannya karena ambil i'tikaf adalah ibarat yang merobohkan suatu kota dengan mendirikan suatu bangunan, sebab ia telah mengerjakan hal yang dianjurkan dan tak seorangpun dari kaum muslimin yang menganggapnya wajib. Ulamapun sepakat bahwa i'tikaf itu sunnat.

Sedangkan melaksanakan kewajiban sebagai pegawai terkandung dalam ayat :

" Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu" [Al-Maidah : 1]

Firman-Nya pula :

"Artinya : Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu dipinta pertanggung jawabannya". [Al-Israa : 34]

Dengan demikian, laki-laki seperti yang ditanyakan, termasuk telah meninggalkan hal yang wajib demi yang dianjurkannya. Karena itu, ia wajib menghentikan i
tikafnya dan kembali ke pekerjaannya semula bila ingin selamat dari dosa.

Jika tetap pada i
tikafnya, berarti ia beritikaf pada zaman milik orang lain, sebab pelbagai kaidah ahli fikih menetapkan bahwa itikaf seperti itu tidak sah, sebab dilakukan pada zaman yang dirampas dari orang lain.

Sehubungan dengan hal itu, saya ingatkan kepada saudara-saudara yang ingin berbuat kebaikan hendaklah jangan mengesampingkan dasar-dasar hukum serta dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah agar ijtihadnya benar dan beribadah kepada All
oh berdasarkan ilmu.


[Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Sy
ekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]

2 komentar:

  1. bagaimana jika meninggalkan keluarga di rumah untuk beri'tikaf, dalam keadaan lingkungan rumah tidak aman(sedang banyak terjadi pencurian dan perampokan)...jazakumulloh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waiyyakum akhi. Tentu saja yang lebih utama menjaga keluarga dan harta benda, karena hukum i'tikaf hanyalah sunnah.

      Hapus