Hadits Online

Senin, 27 Agustus 2012

Teladan Sepanjang Zaman


Berapa Harga Keluh Kesahmu?

Pada suatu malam yang hening dan sangat dingin, tatkala Amirul Mukminan, Umar bin Khottob rodhiyallohu anhu sedang berkeliling ke pelosok-pelosok, ia melihat seperti ada sebuah api unggun di tengah padang pasir. Beliau segera pergi dengan ditemani Abdurrohman bin Auf untuk melihat dari dekat. Ternyata setiba di sana bukan api unggun, tetapi seorang ibu yang seolah-olah sedang memasak makanan untuk anak-anaknya yang terus merengek karena lapar. Anak-anak ibu itu terus menangis tidak mau tidur karena tidak kuat menahan rasa lapar.
Umar lalu mendekati dan mengucapkan salam, kemudian bertanya kepada ibu yang miskin itu, “Mengapa engkau melakukan ini (pura-pura memasak) kepada anak-anakmu?” Tetapi ibu itu hanya menjawab, “Semoga Alloh menyadarkan Umar. Pantaskah seorang menjadi Amirul Mukminin tetapi ia tidak tahu keadaan rakyatnya?!”
Mendengar perkataan itu Umar amat tersentak. Ia menunduk amat sedih. Dengan kedukaan yang amat mendalam ia segera pergi ke Baitulmal. Sepanjang perjalanan ia menangis beristighfar karena ternyata ia belum bisa memenuhi amanah yang dipikulnya sebagai Amirul Mukminin. Sepanjang jalan dia berdoa dan memohon ampun kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala atas kelalaiannya sampai tidak mengetahui semua keadaan rakyatnya.
Sesampai di Baitulmal, Umar segera membuka pintu dan mengambil sekarung gandum, sewadah minyak goreng dan madu. Ia panggul sendiri bahan-bahan makanan itu.
Penjaga Baitulmal tertegun dan bingung melihat Umar seperti sedang sedih sekali. Maka dia bertanya, “Ada apakah, wahai Amirul Mukminin?” Tetapi Umar hanya berkata, “Tolong naikkan barang-barang ini ke pundakku.”
Penjaga Baitulmal semakin tertegun, dia berkata, “Biarlah, aku saja yang akan membawanya, wahai Amirul Mukminin.” Namun Umar menjawab perkataan itu dengan nada agak keras, “Apakah engkau mau aku menanggung dosa lebih banyak lagi?!”
Dibawanyalah sendiri barang-barang itu oleh Umar Rodhiyallohu anhu dengan langkah cepat. Sesampai di tempat ibu yang miskin itu Umar meletakkan bahan-bahan makanan tersebut, bahkan ia mengolah dan memasak makanannya sendiri.
Setelah matang, Umar menyuapi anak-anak yatim itu hingga mereka kenyang dan tidak menangis lagi. Umar amat lega menyaksikan anak-anak itu akhirnya terbebas dari kelaparan. Setelah itu barulah dia bangkit hendak pergi meninggalkan tempat tersebut.
Ibu dari ketiga anak-anak yatim itu berkata kepada Umar, “Demi Alloh, engkau lebih pantas menjadi Kholifah daripada Umar.”
Sebelum pergi meninggalkan mereka, Umar berpesan kepada ibu itu, “Wahai ibu, datanglah besok ke tempat kekholifahan Umar, dan adukanlah hal-ihwalmu kepadanya...”
Tatkala Umar yang ditemani Abdurrohman bin Auf hendak pergi, Umar diam sejenak dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia mengamati ketiga anak itu makan dengan lahapnya. Karena udara yang begitu dingin hingga menusuk tulang, Abdurrohman mengajaknya untuk lekas pulang. Tetapi Umar tidak bergeming dari tempatnya. Ia berkata, “Demi Alloh, aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku lihat anak-anak itu tertawa dan bergembira!”
Keesokan harinya, ibu anak-anak itu datang ke kekholifahan. Tatkala memasuki ruang kekholifahan ia amat terkejut melihat lelaki yang memanggul karung bahan makanan semalam duduk di tengah-tengah Ali bin Abi Tholib dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhuma. Keduanya menyapanya dengan panggilan, “Ya, Amirul Mukminin!”
Ketika tahu bahwa ternyata orang yang semalam itu adalah Amirul Mukminin Umar bin Khottob sendiri, si ibu tertegun dan amat ketakutan karena khawatir keluh kesah dan serangannya akan dipersalahkan. Tetapi Umar segera menghiburnya, dia berkata dengan ramah, “Wahai ibu, jangan bersedih hati dan khawatir. Berapa ibu ingin menjual keluh kesahmu kepadaku?”
Namun ibu itu tidak menjawab pertanyaan Umar, ia berkata dengan nada ketakutan, “Aku mohon maaf, ya Amirul Mukminin.”
Umar berkata lagi, “Engkau tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menjual keluh kesahmu kepadaku...”
Akhirnya transaksi jual beli keluh kesah itu terjadi dengan harga 600 dirham. Umar membayarnya dari uang pribadinya, dan memerintahkan kepada Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu anhu untuk membawa kertas dan pena untuk menuliskan: “Kami Ali dan Ibnu Mas’ud menjadi saksi bahwa Fulanah telah menjual keluh kesahnya kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khotthob.”
Sesudah transaksi usai, Umar berkata, “Kalau aku meninggal dunia, masukkanlah kertas itu dalam kafanku sehingga aku menemui Alloh Ta’ala dengan kalbu yang sehat dari kezholiman.”
Begitulah teladan dari seorang pemimpin yang lurus yang menyadari konsekuensi amanah yang dipikulnya, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di Yaumul Hisab. Wahai, bagaimana seandainya Umar melihat kondisi pemimpin hari ini yang menelantarkan kaum muslimin yang menjadi rakyatnya. Niscaya beliau akan merasakan lebih sesak dadanya. Hari ini di setiap sudut bumi Alloh terdapat banyak kaum muslimin yang tertindas dan terabaikan, sampai-sampai ada di antara mereka terpaksa makan babi karena tidak adanya pasokan bahan makanan, seperti saudara kita muslim Rohingya yang menjadi pengungsi di Thailand. La haula wala quwwata illa biLlah.
(Dikutip dari Aniesul Mukminin karya Safwak Sa’dallah Al Mukhtar, edisi Indonesia Hiburan Orang Mukmin penerjemah H Salim Basyarahil terbitan Gema Insani Press)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar