Berapa Harga Keluh Kesahmu?
Pada suatu malam
yang hening dan sangat dingin, tatkala Amirul Mukminan, Umar bin Khottob rodhiyallohu anhu sedang berkeliling ke
pelosok-pelosok, ia melihat seperti ada sebuah api unggun di tengah padang
pasir. Beliau segera pergi dengan ditemani Abdurrohman bin Auf untuk melihat
dari dekat. Ternyata setiba di sana bukan api unggun, tetapi seorang ibu yang
seolah-olah sedang memasak makanan untuk anak-anaknya yang terus merengek
karena lapar. Anak-anak ibu itu terus menangis tidak mau tidur karena tidak
kuat menahan rasa lapar.
Umar lalu mendekati
dan mengucapkan salam, kemudian bertanya kepada ibu yang miskin itu, “Mengapa
engkau melakukan ini (pura-pura memasak) kepada anak-anakmu?” Tetapi ibu itu
hanya menjawab, “Semoga Alloh menyadarkan Umar. Pantaskah seorang menjadi
Amirul Mukminin tetapi ia tidak tahu keadaan rakyatnya?!”
Mendengar perkataan
itu Umar amat tersentak. Ia menunduk amat sedih. Dengan kedukaan yang amat
mendalam ia segera pergi ke Baitulmal. Sepanjang perjalanan ia menangis
beristighfar karena ternyata ia belum bisa memenuhi amanah yang dipikulnya
sebagai Amirul Mukminin. Sepanjang jalan dia berdoa dan memohon ampun kepada
Alloh Subhanahu wa Ta’ala atas
kelalaiannya sampai tidak mengetahui semua keadaan rakyatnya.
Sesampai di
Baitulmal, Umar segera membuka pintu dan mengambil sekarung gandum, sewadah
minyak goreng dan madu. Ia panggul sendiri bahan-bahan makanan itu.
Penjaga Baitulmal
tertegun dan bingung melihat Umar seperti sedang sedih sekali. Maka dia
bertanya, “Ada apakah, wahai Amirul Mukminin?” Tetapi Umar hanya berkata, “Tolong
naikkan barang-barang ini ke pundakku.”
Penjaga Baitulmal
semakin tertegun, dia berkata, “Biarlah, aku saja yang akan membawanya, wahai
Amirul Mukminin.” Namun Umar menjawab perkataan itu dengan nada agak keras, “Apakah
engkau mau aku menanggung dosa lebih banyak lagi?!”
Dibawanyalah
sendiri barang-barang itu oleh Umar Rodhiyallohu
anhu dengan langkah cepat. Sesampai di tempat ibu yang miskin itu Umar
meletakkan bahan-bahan makanan tersebut, bahkan ia mengolah dan memasak
makanannya sendiri.
Setelah matang,
Umar menyuapi anak-anak yatim itu hingga mereka kenyang dan tidak menangis
lagi. Umar amat lega menyaksikan anak-anak itu akhirnya terbebas dari
kelaparan. Setelah itu barulah dia bangkit hendak pergi meninggalkan tempat
tersebut.
Ibu dari ketiga
anak-anak yatim itu berkata kepada Umar, “Demi Alloh, engkau lebih pantas
menjadi Kholifah daripada Umar.”
Sebelum pergi
meninggalkan mereka, Umar berpesan kepada ibu itu, “Wahai ibu, datanglah besok
ke tempat kekholifahan Umar, dan adukanlah hal-ihwalmu kepadanya...”
Tatkala Umar yang
ditemani Abdurrohman bin Auf hendak pergi, Umar diam sejenak dan bersembunyi di
balik sebuah batu besar. Dia mengamati ketiga anak itu makan dengan lahapnya.
Karena udara yang begitu dingin hingga menusuk tulang, Abdurrohman mengajaknya
untuk lekas pulang. Tetapi Umar tidak bergeming dari tempatnya. Ia berkata, “Demi
Alloh, aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku lihat anak-anak itu
tertawa dan bergembira!”
Keesokan harinya,
ibu anak-anak itu datang ke kekholifahan. Tatkala memasuki ruang kekholifahan
ia amat terkejut melihat lelaki yang memanggul karung bahan makanan semalam
duduk di tengah-tengah Ali bin Abi Tholib dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhuma. Keduanya menyapanya dengan panggilan, “Ya,
Amirul Mukminin!”
Ketika tahu bahwa
ternyata orang yang semalam itu adalah Amirul Mukminin Umar bin Khottob
sendiri, si ibu tertegun dan amat ketakutan karena khawatir keluh kesah dan
serangannya akan dipersalahkan. Tetapi Umar segera menghiburnya, dia berkata
dengan ramah, “Wahai ibu, jangan bersedih hati dan khawatir. Berapa ibu ingin
menjual keluh kesahmu kepadaku?”
Namun ibu itu tidak
menjawab pertanyaan Umar, ia berkata dengan nada ketakutan, “Aku mohon maaf, ya
Amirul Mukminin.”
Umar berkata lagi, “Engkau
tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menjual keluh kesahmu kepadaku...”
Akhirnya transaksi
jual beli keluh kesah itu terjadi dengan harga 600 dirham. Umar membayarnya
dari uang pribadinya, dan memerintahkan kepada Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu
anhu untuk membawa kertas dan pena untuk menuliskan: “Kami Ali dan Ibnu Mas’ud
menjadi saksi bahwa Fulanah telah menjual keluh kesahnya kepada Amirul
Mukminin, Umar bin Khotthob.”
Sesudah transaksi
usai, Umar berkata, “Kalau aku meninggal dunia, masukkanlah kertas itu dalam
kafanku sehingga aku menemui Alloh Ta’ala dengan kalbu yang sehat dari
kezholiman.”
Begitulah teladan
dari seorang pemimpin yang lurus yang menyadari konsekuensi amanah yang
dipikulnya, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di Yaumul Hisab. Wahai,
bagaimana seandainya Umar melihat kondisi pemimpin hari ini yang menelantarkan
kaum muslimin yang menjadi rakyatnya. Niscaya beliau akan merasakan lebih sesak
dadanya. Hari ini di setiap sudut bumi Alloh terdapat banyak kaum muslimin yang
tertindas dan terabaikan, sampai-sampai ada di antara mereka terpaksa makan
babi karena tidak adanya pasokan bahan makanan, seperti saudara kita muslim
Rohingya yang menjadi pengungsi di Thailand. La haula wala quwwata illa biLlah.
(Dikutip dari Aniesul Mukminin karya Safwak Sa’dallah Al
Mukhtar, edisi Indonesia Hiburan Orang Mukmin penerjemah H Salim Basyarahil
terbitan Gema Insani Press)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar