Hadits Online

Jumat, 17 Agustus 2012

HUKUM SHOLAT 'IED WAJIB ATAU SUNNAH


Oleh :
Sy
ekh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani

Beliau ditanya tentang dua orang yang berselisih pendapat mengenai sh
olat 'Ied, apakah hukumnya wajib, atau sunnah yang bila dilaksanakan akan berpahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.

Beliau menjawab :

"Berkaitan dengan persoalan ini, ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan Ulama :"

[1]. Sh
olat 'Ied hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama.
[2]. Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat 'Ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan madzhab Hambali.
[3]. Fardhu 'Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya ; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Dalil-Dalil

Para pendukung pendapat pertama berdalil dengan hadits yang muttafaq 'alaih, dari hadits Th
olhah bin Ubaidillah, ia berkata :

" Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada R
osululloh shollollohu 'alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rosululloh shollollohu 'alaihi wa sallam menjawab :"Sholat lima waktu dalam sehari dan semalam". Ia bertanya lagi : Adakah saya punya kewajiban sholat lainnya ?. Rosululloh shollollohu 'alaihi wa sallam menjawab :"Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja". Beliau melanjutkan sabdanya :"Kemudian (kewajiban) berpuasa Romadhon". Ia bertanya : Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya ?. Beliau menjawab :"Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja". Perawi (Tholhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rosululloh shollollohu 'alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya. Iapun bertanya ;"Adakah saya punya kewajiban lainnya ?. "Rasulullah shollollohu 'alaihi wa sallam menjawab :"Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja". Perawi mengatakan :"Setelah itu orang ini pergi seraya berkata : Demi Alloh, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini". (Menanggapi perkataan orang itu) Rosululloh shollollohu 'alaihi wa sallam bersabda :"Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)".
Mereka (para pendukung pendapat kesatu) mengatakan : Hadits ini menunjukkan bahwa sh
olat selain sholat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib (Fardhu) 'Ain (bukan kewajiban perkepala). Dua sholat 'Ied termasuk kedalam keumuman ini (yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja, -pen). Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam "Al-Ausath IV/252".

Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa sh
olat 'Ied adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa sholat 'Ied adalah sholat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan sholat jenazah, padahal sholat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula sholat 'Ied juga merupakan syi'ar Islam. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Alloh :

"Maka dirikanlah sh
olat karena Robbmu dan berkorbanlah (karena Robbmu) ". [Al-Kautsar : 2]
[Ayat ini berkaitan dengan perintah melaksanakan sh
olat 'Ied, yakni 'Iedul Adha, wallohu a'lam, red]

Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadist-hadits yang menunjukkan wajibnya sh
olat 'Ied. Perhatikanlah Al-Mughni II/224.

Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.

Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa sh
olat 'Ied adalah) wajib 'Ain (kewajiban perkepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para shahabat dulu melaksanakan sholat 'Ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shollollohu 'alaihi wa sallam. Nabi shollollohu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan sholat tersebut di Masjid Nabawi.

Berarti hal ini menunjukkan bahwa sh
olat 'Ied termasuk jenis sholat Jum'at, bukan termasuk jenis sholat-sholat sunnah. Nabi shollollohu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan sholat 'Ied tanpa khutbah, persis seperti dalam sholat Jum'at. Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqo' (do'a meminta hujan), sebab Istisqo' tidak terbatas hanya dalam sholat dan khutbah saja, bahkan Istisqo' bisa dilakukan hanya dengan berdo'a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rohimahulloh membatasi Istisqo' hanya dalam bentuk do'a, ia berpandangan bahwa tidak ada sholat khusus untuk istisqo'.

Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Th
olib) Rodhiyallohu 'anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami sholat ('Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah. Andaikata sholat 'Ied itu sunnah, tentu Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid. Karena jika memang sunnah, orang-orang lemah ini tidak usah melaksanakannya, tetapi toh Ali tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di Masjid, berarti ini menunjukkan wajib, sehingga orang-orang lemahpun tetap harus melaksanakannya -red).

Dalil lain ialah bahwa Nabi sh
ollollohu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari 'Ied dan do'a kaum Mukminin. Apabila Nabi shollollohu 'alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak sholat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika ada di antara kaum wanita berkata kepada beliau shollollohu 'alaihi wa sallam bahwa :"Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab (kain menutupi seluruh tubuh wanita dari atas kepala hingga ujung kaki, -pen), beliau tetap tidak memberikan keringan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :

"Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya". [Hadits sh
ohih, muttafaq 'alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]

Padahal dalam sh
olat Jum'at dan sholat berjama'ah, Nabi shollollohu 'alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita).

"Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka".

Juga bahwa sh
olat Jum'at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan sholat 'Ied (yang tidak ada gantinya). Sholat 'Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan sholat Jum'at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun). Sementara itu Rosululloh shollollohu 'alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan sholat 'Ied, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju sholat 'Ied. Beliau dan kemudian disusul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan sholat 'Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negeri Islam sholat 'ied ditinggalkan, sedangkan sholat 'Ied termasuk syi'ar Islam yang paling agung. Firman Alloh berbunyi.

"Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya". [Al-Baqarah : 185].

Pada ayat itu All
oh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan bertakbir pada hari Iedul Fitri dan Iedul Adha. Artinya, pada hari itu Alloh Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan sholat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka'at pertama dan raka'at kedua. [Demikianlah secara ringkas apa yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disertai sedikit penambahan keterangan dan pengurangan. Lihat Majmu' Fatawa XXIV/179-183].

Imam Sh
ona'ani, dan Shidiq Hasan Khon dalam "Ar-Raudhoh An-Nadiyah" menambahkan bahwa apabila (hari) 'Ied dan Jum'at bertemu, maka (hari) 'Ied menggugurkan kewajiban sholat Jum'at. Padahal sholat Jum'at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Lihat pula Subul as-Salam II/141].

Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadits (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.

[a]. Mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan sh
olat Jum'at, sehingga apalagi sholat 'Ied.

[a]. Mungkin pula karena hadits tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban sh
olat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal sholat 'Ied termasuk kewajiban sholat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. [Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qoyyim Rohimahulloh dalam "Kitab ash-Sholah" halaman 39].

Hadist (kisah tentang) Badui Arab inipun masih bisa dibantah (dari sisi lain, yaitu bahwa) keterangan umum pada hadits itu (mengenai sh
olat wajib hanyalah sholat lima waktu dalam sehari dan semalam) telah dikhususkan dengan sholat nadzar, yaitu sholat yang seseorang mewajibkan dirinya untuk melaksanakannya karena nadzar (maksudnya : seseorang yang bernadzar untuk melaksanakan sholat, maka sholat itu hukumnya wajib untuk dilaksanakan, padahal itu tidak tertuang dalam hadits (kisah tentang Badui Arab, -red). Jika argumentasi ini dibantah bahwa tentang kewajiban sholat nadzar ada dalilnya tersendiri, maka demikian pula kewajiban sholat 'Ied juga ada dalilnya tersendiri. Jika dibantah lagi bahwa tentang kewajiban sholat nadzar diakibatkan karena seseorang mewajibkan dirinya (dengan nadzar) untuk melaksanakan sholat tersebut, maka apalagi sholat yang kewajibannya ditetapkan oleh Alloh untuknya, tentu kewajiban melaksanakan sholat baginya itu lebih nyata daripada melaksanakan sholat yang ia wajibkan sendiri.
Adapun argumentasi yang digunakan oleh orang yang mengatakan bahwa shalat 'Ied hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat.

"Maka dirikanlah sholat karena Robbmu dan berkorbanlah (karena Robbmu) ". [Al-Kautsar : 2].

Atau bahwa sholat 'Ied merupakan syi'ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa sholat 'Ied hukumnya Wajib 'Ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).

Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap sholat jenazah bahwa sholat 'Ied adalah sholat yang tidak didahului adzan maupun iqomat (Qomat) hingga mirip dengan sholat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.

Disamping itu, sesungguhnya telah dinyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan adzan bagi sholat 'Ied, adalah karena:

[1]. Mereka keluar (untuk sholat) menuju tanah lapang, dan karena jauhnya dari tempat -tempat pemukiman.

[2]. (Sebelumnya) Mereka telah menunggu-nunggu untuk memasuki malam hari raya, sehingga telah bersiap sedia untuk melaksanakan sholat 'Ied (pada pagi harinya), dan telah menghentikan segala kesibukan lain (sehingga mereka tidak lagi memerlukan adanya adzan, -red), berbeda keadaannya dengan sholat yang lima waktu. Wallohu 'alam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahulloh mengatakan :"Siapa yang berpendapat sholat 'Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh. Sedangkan sholat 'Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat sholat 'Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat sholat tersebut dapat tercapai ..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab ; satu orang, dua orang, tiga orang .... dan seterusnya". [Dinukil dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah].

Imam Shona'ani, Imam Syaukani, guru kita Syaikh Al-Albani dan Syaikh kami Syaikh (Muhammad bin Sholih) Al-Utsaimin -hafizhallohu al-jami- berpegang kepada pendapat bahwa sholat 'Ied adalah "Wajib 'Ain. Saya pribadi cenderung mengikuti pendapat ini, sekalipun pada beberapa dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat ini ada yang perlu dilihat kembali, tetapi pendapat tersebut adalah pendapat yang dalilnya paling kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat lainnya.

Kendatipun saya takut menyelisihi jumhur (mayoritas) ahli ilmu (Ulama), namun dalam hal ini saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan (sholat 'Ied) hukumnya Wajib 'Ain, berdasarkan kekuatan dalil yang (menurut saya) mereka gunakan, terutama karena sejumlah Ulama juga berpendapat seperti ini.

Begitulah kiranya sikap adil (tidak taklid).
Wallahu a'lam



TAKBIR PADA SAAT 'IED KERAS-KERAS ATAU PELAN-PELAN ?

Syekh Abu al-Hasan Mustafa as-Sulaimani ditanya :

"Apakah seseorang yang pergi untuk menunaikan sholat 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha (mesti) bertakbir ..?. Jika mesti bertakbir apakah dengan suara keras atau dengan suara pelan ?"

Beliau menjawab :
Bertakbir pada saat pergi untuk menunaikan sholat 'Ied terdapat dalam atsar-atsar shohih yang mauquf dan maqthu' (yakni atsar-atsar/yang dilakukan para sahabat dan atau tabi'in), tetapi tidak benar jika dikatakan ada hadits marfu' (dari Nabi shollollohu 'alaihi wa sallam) yang berkaitan dengan masalah ini.

Al-Faryabi mengeluarkan riwayat dalam "Ahkam Al-'Idain" No. 53, bahwa Ibnu Umar mengeraskan suara takbirnya pada hari 'Iedul Fitri (sejak) ketika pergi (di pagi hari) menuju Mushola (tanah lapang tempat melaksanakan Sholat 'Ied), sampai hadirnya Imam untuk melaksanakan sholat 'Ied. (Atsar ini, sanadnya hasan). Atsar ini ada yang meriwayatkannya secara marfu' (sampai kepada Nabi shollollohu 'alaihi wa sallam), tetapi riwayat itu riwayat mungkar.

Dalam riwayat Hakim I/298 dan lainnya, disebutkan bahwa : Ibnu Umar pada dua hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha) keluar dari Masjid (setelah sholat shubuh, -red), kemudian beliau bertakbir hingga tiba di Mushola (tanah lapang tempat dilaksanakan sholat 'Ied). Sanadnya hasan.

Syu'bah juga pernah bertanya kepada Al-Hakam dan Hammad : "Apakah saya (mesti) bertakbir ketika saya keluar menuju sholat 'Ied.?" Keduanya menjawab : "Ya" [Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan No. 5626, sedangkan sanadnya hasan].

Kemudian dalam riwayat Al-Baihaqi III/279, melalui jalan Tamim bin Salamah, ia (Tamim) Berkata : "Ibnu Zubair keluar pada hari raya Kurban, ia tidak melihat orang-orang bertakbir, maka ia berkata :"Mengapa mereka tidak bertakbir .?. Ketahuilah, demi Alloh apabila mereka mengumandangkan takbir, tentu engkau akan melihat kami dalam (barisan) pasukan yang tidak dapat dilihat ujungnya, yaitu seseorang (diantara kami) bertakbir, lalu disusul orang berikutnya hingga berguncanglah pasukan itu karena gema takbir. Memang ternyata perbedaan antara kalian dengan mereka (generasi shahabat) adalah ibarat bumi yang rendah dengan langit yang tinggi" [Sanad atsar ini shohih].

Sementara itu Abu Hanifah -dalam salah satu riwayat yang berasal darinya- berpendapat bahwa mengumandangkan takbir secara keras hanya ada pada hari Raya Kurban, tidak pada hari Raya Fitri, ketika pagi-pagi berangkat menuju mushola. Ia berdalil berdasarkan atsar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah No. 5629, melalui jalan Syu'bah maula Ibnu Abbas.

Dalam atsar itu diceritakan bahwa Syu'bah berkata :

"Saya menuntun Ibnu Abbas pada suatu hari raya, ia mendengar orang-orang mengumandangkan takbir, maka ia bertanya :"Orang-orang itu sedang ada apa ?". Saya menjawab :"Mereka bertakbir". Ia bertanya ;"Apakah imam sedang bertakbir?" Saya menjawab :"Tidak!". Ia berkata :"Apakah orang-orang sudah gila .?

[Ini adalah atsar yang sanadnya dha'if/lemah, sebab Syu'bah meriwayatkan riwayat-riwayat yang mungkar dari Ibnu Abbas. Mungkin yang dimaksudkan Ibnu Abbas olehnya adalah Ibnu Abbas yang lain. Kalaupun kita katakan bahwa Syu'bah meriwayatkan kisah itu secara tepat, namun 'illat (penyakit)nya ada pada Abu Dzi'b, seorang muridnya, yang ada dalam sanad dimana ia meriwayatkan atsar tersebut melalui berbagai sisi, dan periwayatannyapun mudthorib (goncang/tidak mantap].

Tentang firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala (sebuah ayat yang berkaitan dengan takbir pada 'Iedul Fitri) :

"Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya (bulan Romadhon), dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Alloh atas petunjuk-Nya" [Al-Baqoroh : 185]

Sebagian pengikut madzahb Hanafi menjawab bahwa yang dimaksud dengan takbir dalam ayat itu adalah takbir dalam sholat, atau yang dimaksud adalah mengagungkan Alloh, berdasarkan firman Alloh dalam ayat lain.

"Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya".[Al-Isroo' : 111].

Tetapi pembatasan makna seperti itu pada ayat di atas tidak benar, sebab makna ayat tersebut lebih umum dari sekedar takbir dalam sholat atau sekedar mengagungkan Alloh Subhanahu wa Ta'ala.

Imam Thohawi, beliau adalah juga seorang pengikut madzhab Hanafi -justru menguatkan pernyataan bahwa kedua hari 'Ied (hari raya) itu (yakni 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha) adalah satu. Pembedaan (hukum) antara kedua hari raya tersebut tidak ada dalilnya. Itulah pedapat kebanyakan Ulama, dan itu pulalah apa yang dilakukan oleh para Salaf (Lihat Mukhtashor Ikhtilaf al-Ulama, karya Imam Thohawi I/376-378, Bada-i ash-Shona-i', karya al-Kasani I/415 dan Fathul Bari karya Ibnu Rojab IX/31-32).

Catatan Penting.
Wanita juga ikut bertakbir apabila aman dari fitnah, tetapi tidak perlu sekeras suara kaum laki-laki. Dasarnya adalah hadits Ummu 'Athiyah. Bisa dilihat dalam Fathul Bari Ibnu Rojab IX/33).

Catatan Redaksi.
Berdasarkan atsar-atsar di atas, maka terbukti ada tuntunan untuk takbir dengan suara keras menjelang sholat 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha.

Wallohu a'lam.


[Tulisan ini merupakan terjemahan dari fatwa Syekh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani murid senior dari Syekh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i berkaitan dengan hukum Sholat 'Ied dan Takbir pada hari 'Ied dari kitab Silsilah al-Fatawa Asy-Syar'iyah No. 8 bulan Muharrom dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar