Dalam sebuah rubrik konsultasi keluarga di sebuah majalah
Islam ada sebuah kasus menarik. Seorang akhwat yang telah dikarunia beberapa
anak akhirnya bercerai dengan suaminya yang seorang aktivis dakwah. Yang
menarik, penyebab perceraian tersebut ternyata diakibatkan perilaku sang suami
yang tidak bisa menjadi teladan di rumahnya. Selain berlaku kasar kepada isteri
dan anak-anaknya, sang suami ternyata tidak pernah memberikan nafkah kepada
keluarganya. Jadilah isteri mengajukan khulu’ kepada aktivis dakwah tersebut.
Berangkat dari keprihatinan itu, berikut ini kami
turunkan sebuah nasihat indah dari seorang suami, ayah sekaligus mujahid yang
telah membuktikan dan membaktikan ilmu dan amalnya dalam medan kehidupan,
kepada para suami. Beliau telah memberikan 20 kiat praktis kepada mereka dalam
mendidik isteri, agar bisa menjadi isteri solehah yang akan melahirkan generasi
soleh dan solehah pula. Dan sebagaimana akan pembaca simak, untuk mendidik
isteri menjadi solehah tentu saja seorang suami harus menjadikan dirinya lebih
dulu menjadi pribadi yang soleh.
Mengapa nasihat dari beliau ini begitu penting? Sebab, apa
yang beliau nasihatkan ini benar-benar telah beliau praktekkan dan berhasil
diterapkan. Bukan sekadar teori belaka. Keberhasilan kiat beliau dalam mendidik
keluarganya ini, paling tidak bisa kita baca dalam kesaksian isteri beliau
sendiri Ustadzah Paridah Abas dalam bukunya “Orang Bilang Ayahku Teroris” dan
pengakuan jujur kakak ipar beliau, Nasir Abas, yang kini berseberangan dalam
bukunya “Membongkar Jamaah Islamiyah”. Dalam buku tersebut ia menulis, “Saya
tidak pernah menyesal Mukhlas menikah dengan adik saya itu. Adik saya telah
mendapatkan suami yang terbaik untuk dirinya, tiada yang dapat sebanding dengan
Mukhlas selaku suami kepada adik saya itu. Sebagai suami, ia adalah seorang
suami yang teladan di sebagian hal.” (hal 41)
Iya, suami yang dimaksud di sini adalah Ust. Mukhlas Ali
Gufron, rohimahulloh, yang menulis
nasihat khusus kepada para suami yang menginginkan pendamping hidupnya masuk
kelompok muslimah, mukminah, sholihah dan mujahidah. “Hal ini
jika memang tujuan utama
anda adalah kehidupan
akherat, tanpa mengabaikan dan mengecualikan kehidupan dunia.
Tetapi jika anda
termasuk orang yang
lemah atau minus harapannya terhadap kehidupan
akherat –al’iyadzubillah- ya
minimal bagaimana caranya
agar istri kita menjadi
istri yang baik
yang dapat membawa
kebahagiaan kita minimal
di rumah kita, sehingga slogan baiti jannati
(Rumahku Surgaku), benar-benar
terealisasikan, bukan sekedar
omong kosong belaka.” tandas beliau dalam pengantar tulisannya.
Menurut beliau, kedudukan isteri menjadi penting karena
bisa menjadi salah satu penyebab anak-anak kita menjadi manusia-manusia yang
sholeh, yang bermanfaat bagi
agama, keluarga, nusa,
bangsa dan dunia. Atau sebaliknya, menjadi manusia-manusia tholeh bagaikan sampah
yang tidak berarti
dan tidak berguna
keberadaannya hanya membawa
penyakit dan kotoran.
Berikut nasihat beliau yang kami kutip secara ringkas :
1) Suami Mesti Menjadi Uswah, Qudwah dan Suri
Tauladan.
Seorang suami mestilah berusaha menjadi contoh bagi isterinya
semampunya dalam setiap
hal yang baik. Janganlah sampai
seorang suami hanya
mengharap supaya istrinya
baik,
tetapi dirinya sendiri tidak pernah baik dan tidak mau
bersatu untuk baik. Sering dan biasa
memberikan
petunjuk-petunjuk dan ajaran-ajaran
yang baik kepada
istrinya tetapi diri sendiri tidak pernah mengamalkan
petunjuk dan ajaran yang diberikan.
Suami yang seperti
ini, seperti kata
pepatah melayu, ”Bagaikan ketam
(kepiting) hendak
mengajari
anak-anaknya untuk berjalan
lurus” bagaimana akan
mengajarkan berjalan
secara lurus sedangkan
dia sendiri sebagai
induk tidak dapat
berjalan lurus.
Hal ini bukan
berarti seorang suami
mesti mendahului istrinya
dalam setiap kebaikan
(kalau memang bisa
perlu diacungi jempol),
tetapi minimal dia
mestilah dapat meyakinkan kepada
istrinya bahwa dia
adalah seorang suami
yang selalu berusaha melakukan yang lebih baik dan
menjadi orang yang baik.
Dengan demikian istri akan hormat dan respek terhadap
suami serta akan merasa tenang, yakin
dan tenteram karena
memiliki seorang pimpinan
keluarga yang baik
untuk melayarkan bahtera kehidupan keluarga hingga sampai tujuan yang
diidam-idamkan.
2) Seorang Suami Harus Menjelaskan Prinsip
Kehidupannya Kepada Istrinya.
Agar suami dan istri selalu harmonis, tidak banyak
cekcok dan cengeng, tidak banyak membisu lagi menggerutu, tidak banyak
berbantah-bantah dan saling
memaksa, tidak banyak
berselisih dan berikhtilaf,
tidak terjadi yang
satu hendak ke barat, sementara
yang lainnya hendak ke timur. Untuk
mencapai itu semua
atau paling tidak
meminimalisasi, maka di antara
caranya adalah kedua belah pihak menyepakati prinsip-prinsip hidup yang
dipeganginya.
Dalam hal ini
suamilah yang dituntut untuk
bisa menjelaskan kepada
istrinya dengan
penuh bijak dan hikmah sesuai dengan kemampuan istrinya.
Jika misalnya istrinya adalah
seorang yang lugu dan polos tidak banyak cingcong, tidak
banyak membantah pokoknya
apa yang disuruh
oleh sang suami
dia turut dan
dia ikuti. Maka dalam keadaan
seperti ini
tinggal suami yang perlu
mawas diri, jangan sampai langkah
yang ditempuh keluar dari
prinsip yang sudah ia yakini.
Tetapi lain halnya
jika istrinya adalah
seorang yang berpendidikan, apalagi disertai dengan
sifat agresif, seorang
suami harus menjelaskan
satu persatu prinsip
yang dikehedaki, sambil meminta pandangan, pendapat dan tanggapannya.
Seterusnya setelah kedua belah pihak bersepakat barulah masing-masing
menyingsingkan lengan baju bersama-sama maju.
Penyampaian
prinsip yang paling
efektif adalah pada
hari-hari berbulan madu, khususnya hari
pertama, kedua, ketiga
dan seterusnya. Sebab
dikala itu seorang istri sebagai pengantin baru
akan menyerahkan diri dengan
segala yang dipunyainya,
hidup dan kehidupannya, kepada
yang suami yang
dicintainya semata.
Tapi lain halnya
kalau sudah lama atau
sudah punya anak, agak sulit
untuk menerima –kecuali istri
yang dirahmati oleh Alloh– karena
sudah mulai berani
membantah, ya maklum
saja karena sudah lama bergaul
dan lagi pula secara keseluruhan rahasia suaminya sudah dikantonginya.
3) Seorang
Suami Mesti Menjelaskan
Kepada Istrinya Bahwa
yang Berhak Menjadi
Pemimpin
Dalam Rumah Tangganya Adalah Suami Bukan Istri. (Dalilnya surat An-Nur (4): 34).
Penjelasan
ini mesti disampaikan
dengan penuh hikmah
dan kasih sayang, bukan
seperti
seorang komandan terhadap prajuritnya hanya dengan pejet
tombol saja jadi atau dengan satu
perintah saja sudah
jalan. Tetapi perlu
dicari masa dan
waktu yang tepat
sehingga seorang istri dapat
memahami menyetujuinya dan
selanjutnya siap untuk mengamalkannya.
Jika seorang istri
sudah dapat menerima
hal ini, maka
seorang suami mesti
memberikan
petunjuk-petunjuk
praktis secara santai
agar istri senantiasa
ingat bahwa dirinya
bawahan bukan
atasan, atau yang
dipimpin bukan yang memimpin.
Maka termasuk
dari segi ucapan saja perlu disesuaikan dengan statusnya.
4) Seorang Suami Mesti Arif dan Bijak Jika
Melihat Ada Kekurangan Pada Isterinya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Maha
Bijaksana dan Maha
Segala-galanya. Setiap menciptakan sesuatu
mesti ada hikmah di sebaliknya, tidak ada satupun ciptaan atau kejadian
di alam ini yang sia-sia tanpa tujuan.
Alloh Subhanahu wa
Ta’ala mentaqdirkan ada kekurangan
pada istri-istri kita pasti ada maksud dan tujuan, tidak hampa
dan sia-sia begitu
saja. Sebagaimana dalam
firmanNya (Q.S. An-Nisa
(4) : 19): “Dan pergaulilah
mereka dengan cara
yang baik, kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka
(maka bersabarlah), karena
mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak”
Maka seluruh kekurangan
pada istri kita
yang kita tidak
sukai baik dari
segi fisiknya,
ucapannya,
sifatnya maupun kelakuannya
semuanya ada kebaikan
bagi kita, jika
kita
sikapi dengan sikap yang arif dan bijak.
5) Suami mengajak istrinya dalam keadaan atau
suasana santai membuat kesepakatan-kesepakatan untuk dijadikan pegangan atau
panduan dalam masa-masa kritis atau gawat termasuk sewaktu ada perselisihan
atau bertengkar.
Sebagai contoh misalnya suami menyatakan kepada istrinya
:
a. Sewaktu saya dalam keadaan marah anda mesti melakukan
hal-hal sebagai berikut:
1. Diam saja
saja, jangan menyahut,
menjauh dari saya,
jangan mendekat atau masuk ke dalam kamar saja, pokoknya
jangan melawan atau,
2. Anda tunjukkan
sifat penyesalan sambi
menangis sehingga saya
iba dan rayulah saya masuk ke
dalam kamar atau,
3. Anda buatkan
dan hidangkan minuman
yang saya sukai
atau makanan atau bawa anak kehadapan saya atau yang lainnya.
b. Ketika saya diam seribu bahasa berarti ada hal yang
tidak beres dan tidak pas, maka anda
mesti lakukan hal-hal berikut :
1) Silahkan anda
mendekat dengan muka manis ada masalah apa? Atau
2) Ajak duduk
minum bersama, atau masuk ke dalam kamar atau,
3) Buat pura-pura
tidak tahu saja.
Selanjutnya
istripun mesti diminta hal
yang sama,misalnya dalam keadaan
ngambek apa
yang perlu dilakukan oleh suaminya yang paling ia sukai
yang tidak bertentangan dengan
syariat, contohnya :
1) Dipuji, dirayu,
dan seterusnya, atau,
2) Diajak shalat
berjamaah atau dzikir bersama atau,
3) Shopping,
belanja keluar.
Dalam keadaan penat atau lelah,
1) Minta
dipijat
2) Kurang siap
untuk melayani suami.
3) Cepat marah dan
jangan diganggu.
6) Seorang
suami ada baiknya
menjelaskan kelebihan dan
kekurangan kaum hawa, menurut fitrahnya yang diciptakan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
A. Kelebihan (fadhilah) kaum wanita.
Membahas
tentang kelebihan kaum
Hawa -Subhanallah-jika ditulis
mungkin memerlukan
berjilid-jilid buku, baik
kelebihannya secara fitrah
asal mula penciptaannya, yang
telah diterangkan oleh
Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
sholollohu alaihi wa sallam dalam Alquran dan Assunnah, hingga terdapat
satu surah di dalam Alquran yang dinamakan
surah An-Nisa’.
Disamping itu mereka
juga banyak kelebihannya
dalam arena perjuangan menegakkan kebenaran
dari zaman Nabi Adam
alaihis sallam hingga
zaman Rasulullah sholollohu alaihi wa
sallam, sebagai Nabi terakhir,
kemudian seterusnya pada
zaman Tabi’in dan
sampai sekarang ini.
Di antaranya kelebihan kaum wanita adalah :
·
Lebih mudah
masuk surga daripada
kaum laki-laki modalnya,
Aqidah benar, beribadah, menjaga
diri, mentaati suami
selama perintahnya tidak
bertentangan dengan perintah Allah swt, dan Rasul-Nya.
·
Wanita Shalehah
adalah kenikmatan dunia
yang paling baik,
Rasulullah bersabda : Dunia
adalah kenikmatan dan
sebaik-baik kenikmatannya adalah seorang wanita yang shaleh.
·
Jika meninggal
semasa melahirkan maka
ia termasuk mati
syahid.
·
Mempunyai
dua atau tiga anak perempuan yang sholihah ia dijamin masuk surga .
·
Jika istri
meninggal dan suaminya
dalam keadaan ridho
(karena selama
mendampinginya selalu taat), maka ia dijamin masuk surga.
B. Sifat Kurangnya Sejak Semula Diciptakan.
Kurang akalnya
Maksudnya :
fikirannya singkat atau pendek, perasaannya lebih dominan daripada fikirannya, kadang
seseorang wanita terlalu keras dan kadang terlalu lembek, tidak ada yang
mu’tadil (seimbang).
Kurang agamanya.
Maksudnya : seorang
wanita disebut kurang
agamanya karena bagi
kaum wanita yang masih normal
(kecuali yang sudah tua atau sengaja diabnormalkan), mesti setiap bulannya libur
minimal 3-7 hari, karena datang bulan, dan jika nifas (lepas melahirkan) mesti
libur juga minimal 20-40 hari.
7) Suami Hendaknya Mengatur Perbelanjaan Rumah
Tangga Dengan Baik dan Bijak.
Tidak Isrof
(berlebih-lebihan) dan tidak
pula terlalu irit
(kikir), tetapi di
tengah-tengah.
Alloh Subhanahu wa
Ta’ala, berfirman dalam surat Al-Furqon (25) : 67.
“Dan
orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebih-lebihan, dan tidak
pula kikir, dan
adalah pembelanjaan itu
(ditengah-tengah) antara yang demikian”
Perbuatan
Isrof itu dilarang
dalam segala hal
termasuk makan, minum,
berpakaian dan
lain sebagainya, silakan buka Alquran surat ke 7 ayat 31,
dan surat ke 6 ayat 141.
Uang
perbelanjaan rumah tangga diambil dari uang suami, (jika mampu dan cukup), jika
tidak dan hendak
mengambil uang istri
mesti mendapat izin
dan kerelaannya. Sebab pada
mulanya tanggung jawab atau kewajiban adalah terpikul di atas
pundak suami, istri hanyalah
membantu.
Disamping dilarang
berbuat Isrof, dilarang
juga berbuat Tabdzir,
(menghambur-hamburkan atau boros).
Alloh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman dalam surat Al-Isro surat ke 17 ayat 26.
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang
dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan
orang yang dalam
perjalanan, dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros”
8) Seorang
Suami Sebagai Pimpinan
Rumah Tangga Wajib
Menjauhkan Diri dan
Istrinya
Serta Anak-Anaknya Dari Makan Barang Haram.
Pasangan
suami istri yang
mendambakan dapat mencapai kehidupan
yang penuh dengan
mawaddah dan rahmah,
mustahil akan mencapainya jika harta
yang dimakan atau
dibelanjakan atau
disimpan adalah haram,
baik secara hissi
maupun secara
maknawi.
9) Seorang
Suami Wajib Membimbing
Istrinya Agar Tidak
Terlalu Cinta Dunia
dan
Bermata
Duitan.
Cinta dunia adalah
puncak dan sumber
dari segala kesalahan
sebagaimana yang dinyatakan dalam
sebuah hadits : “Cinta dunia adalah kepala setiap kesalahan.”
Jika seseorang sudah terkena virus, kuman dan penyakit cinta
dunia hidupnya akan selalu serba salah, berdiri salah, duduk salah, berbaring salah, punya uang salah, tidak ada
uang salah, tetangga kaya
salah, tetangga miskin
salah, punya anak salah,
tidak ada anak
pun salah, punya mobil
salah, tidak ada
mobil salah, pokoknya
semuanya salah, mati
salah, hidup pun salah,
tidak pernah merasakan
ketenteraman dan ketenangan,
kedaimaian dan kebahagiaan
dalam hidupnya yang
dirasakan malah sebaliknya
merana, gundah gulana,
ketakutan, kesedihan, kebinasaan dan kehancuran.
Oleh karena itu
suami di samping dirinya
sendiri menyadari wajib
juga menyadarkan
kepada
istrinya bahwa kehidupan
di dunia bukan
tempat bernikmat-nikmat, tetapi merupakan tempat beramal. Tempat untuk
bernikmat-nikmat itu nanti di surga. Jadi dunia
adalah
“Daarul ‘Amal” (kampung
untuk beramal), sedangkan
akherat adalah “Daarul Jazaa’” (kampung
untuk mencari balasan).
Barangsiapa yang amalannya
baik akan dibalas dengan kebaikan
dan sebaliknya barangsiapa yang amalannya buruk akan dibalas dengan keburukan.
(Q.S Al-Zalzalah (99) : 7,8).
Ingatlah
bahwa kenikmatan dunia
hanya setitik saja,
jika dibandingkan dengan kenikmatan akhirat.
10) Seorang
suami harus berusaha
memahamkan istrinya bahwa
kebahagiaan tidak
terletak
pada materi.
11)
Seorang suami harus
mendidik istrinya bahwa
tempat bergantung atau
bersandar
hanyalah
kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya, kapanpun dan di manapun bukan
kepada makhluk manapun termasuk suaminya.
Suami sebagai pemimpin
istrinya dituntut untuk
menanamkan hakekat makna
Tauhid
Rububiyah dan
berusaha semaksimal dan
seoptimal mungkin untuk
dapat melaksanakan
dalam kehidupan nyata dan amalan praktikal. Artinya ia
wajib memahamkan bahwa Alloh
Subhanahu
wa Ta’ala adalah
satu-satunya Dzat Yang :
Mencipta atau menjadikan.
Memelihara yang sebenarnya.
Mendidik yang sebenarnya.
Memberi rizqi.
Menghidupkan dan mematikan.
Memberi manfaat dan memberi madharat.
Mengatur dan mentdbir alam semesta.
Dan sebagainya.
Disamping itu suami
juga berkewajiban untuk
mengenalkan istrinya akan
Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan
pengenalan yang sebenarnya,
jangan sampai Tuhan yang
dikenali oleh istri bukan Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya,
semua orang mengakui ada Tuhan termasuk orang Atheis atau komunis (yang berpura-pura tidak percaya adanya Tuhan,
namun pada suatu saat khususnya pada
masa-masa krisis dan
gawat dengan tanpa
sadar mulutnya pun komat-kamit menyebut Tuhan dengan bahasa
mereka sendiri (Q.S [31] : 25).
Mengenali
atau bermakrifat kepada
Alloh Subhanahu wa Ta’ala
hukumnya wajib (Q.S
Muhammad [47] : 14).
Untuk dapat mengenali Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenarnya, caranya wajib mengikuti cara
yang telah ditunjukkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya sholollohu
alaihi wa sallam, tidak boleh dengan
cara-cara yang direka-reka sendiri misalnya
dengan jalan thoriqot-thoriqot sufiyah,
bersemedi, berkhalwat untuk mengenali
diri sendiri, sebab
menurut anggapannya bahwa
jika seseorang telah mengenali
diri sendiri berarti
telah mengenali Tuhannya,
akhirnya lama kelamaan akan menjadi satu keyakinan yaitu “wihdatul wujud “
alias Tuhan bersatu dengan dirinya, maka hasilnya Tuhan
adalah aku dan aku adalah Tuhan.
12)
Seorang suami wajib menjelaskan 4 (empat) “perkara penting” kepada istrinya
agar tidak tersesat.
Rosululloh sholollohu
alaihi wa sallam bersabda :
“Ikatan Iman
yang paling kuat
itu adalah bermuwalat
karena Alloh dan bermusuhan karena Alloh, cintanya karena
Alloh dan benci karena Alloh.” (Hadits Hasan dalam kitab As-Sunan).
Berdasarkan hadits ini ada 4 perkara, yang artinya
sebagai berikut :
1. Al-Muwalat :
Maksudnya kepada siapa
seseorang berpihak, siapa
yang ia jadikan sebagai pemimpin,
pelindung, kawan setia,
sahabat yang dapat
dipercayai dan sebagainya.
2. Al-Mu’adat : Maksudnya kepada siapa
seorang akan memberikan permusuhan dan perseteruannya dan
siapa yang mesti
dianggap dan dijadikan
sebagai lawan dan musuhnya.
3. Al-Hubbu
: Maksudnya kepada siapa dan terhadap hal apa cintanya diberikan dan
siapa serta apa sajakah yang wajib ia cintai.
4. Al-Bughdu : Maksudnya
terhadap siapa dan keatas apa
kebenciannya mesti dikenakan,
siapa dan apa sajakah yang wajib di benci.
Ada juga ahlul ilmi yang menyimpulkan empat perkara
menjadi dua perkara saja yaitu :
1. Al-Wala’ (perwalian) :
Maksudnya siapa yang
akan dijadikan sebagai
wali
(pemimpin, pelindung, kawan setia, sahabat yang
dipercayai dan sebagainya).
2. Al-Bara’
(berlepas diri) : Maksudnya terhadap siapa dan apa seseorang wajib berlepas
diri artinya tidak memberikan wala’nya.
13) Seorang
suami mestilah membekali
istrinya dengan bekal-bekal
akhlaq yang
terpuji antara lain,
1.
Bekal Ilmu. (Al-‘Ilmu).
Setiap orang Islam termasuk suami istri wajib mengetahui
perkara-perkara yang mendasar
dalam Islam, misalnya :
a. Rukun Islam.
b. Rukun Iman.
c. Ma’rifatullah (mengenal Alloh). Minimal sehingga ia
yakin dan percaya bahwa Alloh
Subhanahu
wa Ta’ala satu-satunya Dzat
yang berhak diibadahi, Dialah satu-satunya Robb, tiada Robb selain Dia,
Dialah di atas segala-galaNya, baik
dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya,
serta asma dan sifat-Nya.
d. Ma’rifatur-Rasul
(mengenal Rosululloh sholollohu
alaihi wa sallam) minimal sehingga
ia mengetahui dan meyakini
bahwa Nabi Muhammad sholollohu alaihi wa sallam adalah
utusan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, seluruh risalah yang
dibawa adalah benar
dan wajib diikuti
dan sebaliknya segala
apapun juga bentuknya baik agama, ajaran, isme, hukum dan
sebagainya yang bertentangan dengannya adalah bathil dan
wajib di tentang
dan ditinggalkan, siapa yang
mengikutinya akan berhasil masuk surga dan sebaliknya siapa
yang menyelisihinya akan masuk ke dalam neraka.
e. Ma’rifatud-Dienul
Islam. (Mengenal Agama
Islam), batasan minimalnya
hingga ia
yakin bahwa satu-satunya
agama yang benar
yang mendapat ridho
Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang pemeluknya
akan masuk surga,
yang dapat menyelamatkan
dari api neraka
adalah Islam, selain pemeluk agama Islam maka dia mendapat murka Alloh Subhanahu wa Ta’ala baik di dunia maupun
di akherat dan mereka adalah orang-orang kafir ataupun musyrik, seluruhnya akan
dimasukkan ke dalam neraka meskipun amalannya baik.
Orang Islam tidak
boleh sama sekali
beranggapan bahwa agama
selain Islam adalah
benar karena mengajarkan kebaikan dan melarang yang tidak
baik, sebab standar atau ukuran
benar atau tidaknya
sesuatu agama tidak
cukup hanya ditinjau
dari segi mengajarkan kebaikannya
saja, ukuran utamanya
justru pada masalah
aqidah atau i’tiqod atau
keyakinan dengan kata lain pada masalah tauhid.
Hanya Islam saja yang dapat disebut dengan agama tauhid
yaitu agama yang meyakini
bahwa Robb adalah
tunggal, esa dan
satu baik pada
rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya
maupun asma dan sifat-Nya, yaitu Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
2.
Bekal Takwa
Seorang suami wajib
menanamkan pada dirinya
dan istrinya bahwa
dimanapun juga
berada dan kapan pun juga waktunya, baik sendirian maupun
bersama orang banyak untuk
tetap takut kepada
Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
takut akan murkaNya
dan siksaNya, yaitu
dengan menunaikan seluruh perintahNya dan meninggalkan semua laranganNya
dengan kata lain
mengamalkan
segala yang ada
dalam Alquran dan
Assunnah, termasuk mensyukuri
nikmat yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala karuniakan
kepadanya meskipun kelihatannya hanya sesuap
nasi dan beberapa rupiah
uang diterimanya dengan
penuh qona’ah (rasa
puas) tanpa adanya perasaan grundel.
3.
Bekal Yakin (“Yaaqinu”).
Seorang suami diharapkan
dapat membimbing istrinya
untuk dapat meyakini
seyakin-yakinnya, bahwa seluruh
yang datang dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya adalah benar, baik yang terdapat
dalam Alqur’an maupun
Assunnah, baik yang
berhubungan dengan
masalah-masalah aqidah, ibadah
maupun minhajul hayah,
baik urusan duniawi
maupun ukhrowi, termasuk janji-janji
Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya, misalnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
akan menzalimi
hamba-hambaNya, Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan selalu beserta
orang-orang yang beriman, menguatkannya dan menolongnya,
jika pada suatu saat terlihat pada segi
lahirnya kalah, maka
sebenarnya pada kekalahan
itu terkandung hikmah,
keadilan dan maslahah,
sebab Alloh Subhanahu wa Ta’ala
tidak melakukan sesuatu tanpa ada hikmah di sebaliknya.
Singkatnya seluruh nama-nama Allah dan sifat-sifatNya serta
apa yang terkandung dalam
nama-nama dan sifat-sifatNya wajib diyakini dengan
sebenarNya.
4.
Bekal Tawakal (At-Tawakkal).
Alloh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman :
“(Jika
demikian) maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat
puluh tahun, (selama itu) mereka berputar-putar kebingungan di bumi (padang
Tih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang
fasik itu. ” (Q.S. Ibrahim (14) :12).
5.
Bekal Syukur (As-Syukru).
Allah swt berfirman :
“Hai orang-orang
yang beriman, makanlah
diantara rizki yang
baik-baik yang
Kami berikan kepadamu
dan bersyukurlah kepada
Alloh, jika benar-benar
kepada-Nya
kamu menyembah.” (Q.S Al-Baqoroh (2) : 152)
6.
Bekal Sabar (Ash-Shobaru).
Imam Ahmad rohimahulloh berkata, Alquran membicarakan tentang sabar kurang lebih dalam 90 tempat. Sabar hukumnya wajib
menurut ijma’ul ummah, ia separuh iman karena iman ada
dua paruh, yang separuh adalah sabar dan separuh lagi
adalah syukur.
Sabar ada 3 macam :
a. Sabar dalam
mentaati Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
b. Sabar dari
maksiat terhadap Alloh Subhanahu wa
Ta’ala (dalam meninggalkan maksiat).
c. Sabar menerima
ujian Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Sudah tidak diragukan
lagi bahwa masa
kini adalah masa-masa
yang boleh dibilang
masa
kesabaran, karena begitu diperlukan kepadanya dalam
menghadapi banyaknya ujian, tekanan,
cobaan, dugaan dan fitnah yang memerlukan kesabaran,
Bersabar di atas dien
(agama) berarti teguh
dan tetap diatasnya,
tidak kembali ke belakang alias mundur atau melemah atau
gojak-gajek (ragu-ragu).
Bersabar di atas dakwah, jihad,
infak fie sabilillah dan seluruh
amalan yang diperlukan
untuk dakwah termasuk pengorbanan jiwa, harta atau yang
lainnya.
Bersabar
dalam menghadapi intimidasi,
tekanan, siksaan, orang-orang
musyrik,
munafik dan orang-orang
fasik. Maka jangan
sampai orang-orang ini
mengeluarkannya
dari garis khitthohnya, jangan terlalu cepat menarik diri
dari manhaj yang telah diyakini
dan tenteram dengannya. Bahkan mesti harus tetap teguh
berada di atas manhajnya tanpa
memperdulikan
gertakan sambal yang
dilakukan oleh orang-orang
yang tidak yakin
(musyrik, munafik dan fasik).
14) Seorang
suami wajib membimbing
istrinya supaya istiqomah
dalam beribadah
terutama
dalam menunaikan sholat,
Jika rumahnya jauh
dari masjid, diusahakan
agar bisa berjamaah
di rumah dengan keluarga, jika
5 waktu suami
sholat berjamaah di
masjid, maka ambillah
kesempatan
sekali-kali berjamaah dengan istri pada saat sholat
tahajjud.
Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa sholat adalah
rukun Islam kedua, maka berarti
tidak ada amalan
yang lebih penting
dan lebih wajib
bagi seseorang yang
telah
mengikrarkan dua kalimat syahadat dibandingkan dengan sholat.
15)
Seorang suami mesti
mendidik istrinya agar
terbiasa mengeluarkan zakat,
infak
baik
yang hukumnya wajib maupun sunnah.
Alloh berfirman : “Syetan
menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat
kejahatan (kikir) sedang
Alloh menjanjikan untukmu
ampunan daripada-Nya dan karunia.
Dan Alloh Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Maha Benar Alloh
dengan segala firman-Nya,
memang syetan selalu
menakut-nakuti
orang agar tidak mengeluarkan infak, seolah-olah kalau
dia membayar infak akan menjadi
miskin. Seribu satu
bisikan syetan antara
lain, janganlah infak
dulu kamu masih
banyak
keperluan, istrimu perlu ini, perlu itu, anakmu perlu
susu dan sebagainya. Bahkan termasuk
kelihaian
syetan, mereka membuat
uang sepuluh ribu
ketika diinfakkan serasa
sepuluh
juta, sehingga dikenang selama-lamanya.
Tetapi sebaliknya untuk selain infak, satu jutapun
seperti seratus ribu saja, misalnya untuk
shopping, untuk mentraktir
kawan-kawan, nongkrong, untuk
belanja, berfoya-foya dan
sebagainya. Begitulah pintarnya syetan menyesatkan
manusia.
Sebaliknya Alloh Subhanahu
wa Ta’ala menjanjikan ampunan
daripada-Nya dan menjanjikan
karunia artinya jika seseorang
menunaikan perintah-Nya, termasuk
mengeluarkan infak dan menjauhkan diri
dari segala yang
dilarang termasuk kikir,
maka Alloh akan memberikan maghfiroh atau
ampunan terhadap kesalahan-kesalahan yang telah
Dilakukannya. Dan akan memberikan karunia berupa
harta dan sebagainya
dan yang lebih
baik lagi, sebagaimana
diterangkan dalam Q.S.
Al-Baqarah : 276. –wallahu
a’lam-
Ustadz Mukhlas lalu memberikan tips
praktis untuk membiasakan
suami istri agar selalu berinfak.
a. Buat
beberapa tempat seperti
tempat tabungan, bisa
dibuat dari bekas
bedak, atau kaleng atau botol
minuman yang penting
rapi dan terjaga
dari gangguan anak-anak, tulis pada tempat-tempat tabungan
seperti yang kita kehendaki, misalnya :
- Kaleng pertama :
Infak Fi Sabilillah.
- Kaleng kedua :
Infak Fakir Miskin.
- Kaleng ketiga :
Infak untuk kerabat dekat.
Letakkan tabung simpanan
tersebut di tempat
yang strategis di
dalam rumah kita,
misalnya di dekat
cermin atau di atas
meja belajar dan
sebagainya yang penting
yang
bisa sering-sering kita lihat.
Usahakan setiap hari berinfak meskipun jumlahnya sangat
minimal.
b. Infak dengan beras.
Setiap akan memasak
nasi, kurangkan dari
jatah beras yang
hendak dimasak satu cangkir saja untuk infak, berarti kalau
satu hari masak, dua kali dua cangkir yang perlu disediakan untuk
infak, dalam satu
bulan berarti ada
60 cangkir beras
demikian seterusnya.
Dengan cara ini Insya Alloh suami istri akan menjadi
terbiasa untuk berinfak.
16)
Seorang suami wajib mengajarkan ilmu kewanitaan, kepada istrinya.
Yang dimaksud dengan
ilmu kewanitaan di sini
ialah ilmu syariat
tentang bagaimana
disiplin seorang wanita ketika dalam keadaan haidh, dalam
keadaan nifas, sewaktu junub,
ketika sedang,
hendak dan usai bersenggama, apa itu
darah haidh, darah
istihadhoh dan
darah nifas, apa itu air mani, air madzi dan wadi dan
sebagainya.
Disarankan
kepada suami istri
khususnya bagi yang
ilmu agamanya pas-pasan, artinya
bukan terpelajar di Ma’had atau di madrasah-madrasah
diniyah, supaya memiliki minimal
buku fiqih sederhana tetapi dalam menampilkan
pembahasannya disertakan dengan dalil-dalilnya baik dari Alquran maupun
Assunnah.
Bagi suami istri yang mengikuti madzhb Syafi’i milikilah
minimal kitab Kifayatul Akhyar,
kitab fiqih sederhana tidak terlalu tebal tetapi dalam
pembahasannya dikemukakan dalil-dalilnya, kitab
ini ditulis oleh
Imam Taqiyuddin seorang
’alim yang bermadzhab
Syafi’i yang hidup pada abad 9
Hijriyah. Meskipun dalam kitab ini ada
beberapa hal yang perlu diluruskan, maklum
manusia tidak ada
yang sempurna, tetapi
menurut pendapat saya –wallahu a’lam- lebih lengkap
pembahasannya dibanding dengan
kitab-kitab yang lain, misalnya “Sulam Safinah”. “Sulam
Taufiq”, Taqrib dan lainnya.
17)
Seorang suami mesti memberikan petunjuk kepada istrinya tatacara mendidik anak
semenjak masih
dalam kandungan hingga
lahir sebagai bayi
kemudian kanak-kanak sampai
menginjak umur baligh, dewasa dan seterusnya.
Bagi suami istri
yang ingin mendalami
masalah ini dipersilahkan
untuk mempelajari
buku-buku tentang tarbiyah dan pendidikan yang ditulis oleh
para pakar ilmu pendidikan Islam.
Banyak
kitab-kitab yang membicarakan
tentang tarbiyah Islamiyah
yang ditulis oleh
ulama dan pakar kita baik yang salaf maupun kholaf.
Ada kitab sederhana
tetapi cukup lengkap
pembahasannya tentang “Pendidikan
Islam”
buku ini judul
aslinya “Tarbiyatul Aulad
fil Islam” ditulis
oleh Asy-Syaikh Abdullah Nashih Ulwan,
buku tersebut telah
diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia, kalau tidak
salah dengan judul
“Pendidikan anak-anak dalam
Islam” silahkan berusaha
memilikinya
jika mampu untuk membelinya.
18)
Seorang suami mesti mendata muhrim dari kedua belah pihak (suami dan
istri).
Hal ini sangat
penting agar tidak
terjadi kesalahan dalam
bermuamalah apalagi sampai
tercebur
dalam hal yang
diharamkan oleh syara’ seperti menikahi muhrim sendiri,
berjabat
tangan dengan yang
bukan muhrim atau
sebaliknya atau berkhalwat
(berduaan) dengan
yang bukan muhrim atau sebaliknya. Maka suami
istri wajib mengetahui muhrim
masing-masing. Yang dimaksud
dengan muhrim adalah
: orang yang
haram dinikahi. Adapun
pembagiannya sebagai berikut :
Saudara ipar bukan muhrim.
Saudara sepupu bukan muhrim.
Saudara atau saudari mertua baik yang dari pihak merua
laki-laki atau perempuan bukan
muhrim.
Keluarga
suami yang muhrim
hanyalah jurusan bapak
mertua keatas dan
ibu mertu
keatas.
Keluarga
istri yang muhrim
hanyalah jurusan bapak
mertua keatas dan
ibu mertua
keatas.
Saudara
atau saudari satu
ibu susuan muhrim,
misalnya Ahmad menyusu
kepada si A,
maka seluruh anak perempuan si A kedudukannya muhrim
dengan Ahmad.
Anak bawaan suami
dengan anak bawaan
istri bukan muhrim
tetapi terhadap ibu dan
bapaknya muhrim. (jika sebelum menikah masing-masing
sudah beranak).
Dan sebagainya (lihat kitab-kitab fiqih).
19)
Seorang suami wajib menjelaskan kepada istrinya tentang macam-macam tetangga,
terutama
bagi yang tinggal di kawasan masyarakat yang majemuk.
Agar tidak terjadi
kesalahan dalam bermuamalah
dengan tetangga yang
menyebabkan
pelanggaran syara’ maka suami istri dituntut memahami
kedudukan tetangganya menurut syariat Islam.
Ada 3 macam bentuk tetangga menurut Islam,
1. Tetangga yang
mempunyai 3 hak.
a. Hak setara
sebagai orang Islam.
b. Hak sebagai
kerabat.
c. Hak sebagai
tetangga.
Tetangga yang mempunyai
3 hak adalah
tetangga kita yang
beragama Islam dan masih ada hubungan keluarga atau famili
dengan kita. Tetangga yang seperti ini menduduki peringkat pertama.
2. Tetangga yang
mempunyai 2 hak.
a. Hak setara
sebagai orang Islam.
b. Hak sebagai
tetangga.
Tetangga yang mempunyai
2 hak ialah
tetangga yang beragama
Islam dan tidak memiliki hubungan keluarga.
3. tetangga yang
mempunyai 1 hak.
a. Hak sebagai tetangga.
Tetangga yang mempunyai 1 hak ialah tetangga yang non
Muslim.
Tatacara
bergaul atau bermuamalah
dengan masing-masing tetangga
sebagaimana telah
disebutkan sudah diatur dalam syariat, silahkan melihat
dalam buku-buku fiqih atau kitab Jamiul
‘Ulum wal Hikam, karangan Ibnu Rajab Al Hambali rohimahulloh.
20) Seorang
suami juga dituntut
menjelaskan meskipun secara
ringkas, tentang
makanan
sehat dan sempurna yang perlu dikonsumsi oleh keluarga.
Begitulah untaian nasihat Ust. Mukhlas yang diperuntukkan
kepada kita, para suami. Semoga kita bisa menjalankannya, sehingga keluarga
sakinah, mawaddah dan rohmah yang kita dambakan dapat terwujud. Amin ya Robbal ‘alamin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar